Senin, 21 Juli 2008

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah


Suatu musibah besar yang menimpa kaum muslimin semenjak masa lalu adalah tersebarnya hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu) di antara mereka. Saya tidak mengecualikan siapapun di antara mereka sekalipun ulama’-ulama’ mereka, kecuali siapa yang dikehendaki Allah di antara mereka dari kalangan para ulama’ Ahli Hadits dan penelitinya sepert Imam Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Main, Abu Hatim Ar Razi dan selain mereka.

Dan dampak yang timbul dari penyebarannya adalah adanya kerusakan yang besar. (Karena) di antara hadits-hadits dhaif dan maudhu itu, terdapat masalah (yang berkenaan dengan) keyakinan kepada hal-hal ghaib, dan juga masalah-masalah syari’at. Dan pembaca yang mulia akan melihat hadits-hadits tersebut, insya Allah.

Dan sungguh hikmah Allah, Dzat yang Maha Mengetahui menetapkan, untuk tidak meninggalkan hadits-hadits yang dibuat oleh orang-orang yang berpaling dari kebenaran, untuk tujuan yang bermacam-macam. Hadits itu “berjalan” di antara kaum muslimin tanpa ada yang mendatangkan dalam hadits-hadits itu orang yang (dapat) “menyingkapkan penutup” hakikatnya, dan menerangkan kepada manusia tentang perkara mereka. (Orang yang dimaksud tersebut adalah) Imam-Imam ahli hadits, yang membawa panji-panji sunnah nabawiyyah, dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi mereka dengan sabdanya :

“Artinya : Semoga Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataanku, lalu menjaga, menghafal dan menyampaikannya. Karena bisa jadi orang yang membawa pengetahuan tidak lebih faham dari orang yang disampaikan”. [Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi (dan beliau menshahihkannya) dan Ibnu Hibban dalam shahihnya]

Para ulama’ ahli hadits telah menerangkan keadaan sebagaian besar hadits-hadits itu, baik itu shahihnya maupun dha’ifnya. Dan menetapkan dasar-dasar ilmu hadits, membuat kaidah-kaidah ilmu hadits. Barang siapa mendalami ilmu-ilmu itu dan memperdalam pengetahuan tentangnya, dia akan mengetahui derajat suatu hadits, walaupun hadist itu tidak dijelaskan oleh mereka. Yang demikian itu adalah (dengan) Ilmu Ushulul Hadits atau Ilmu Musthala Hadits.

Para ulama’ yang hidup pada masa belakangan telah mengarang satu kitab khusus untuk mengungkap suatu hadits, dan menerangkan keadaannya. Salah satu kitab yang termasyhur dan paling luas adalah kitab :

"al-Maqosidu al-Hasanah fi Bayani Katsirin minal ahaadits al-Mustaharah 'alal alsinah" Yang dikarang oleh Al Hafidh As Sakhowi, dan kitab-kitab yang semisalnya, dari kitab-kitab “Takhrijul hadits”.

Kitab-kitab itu menerangkan keadaan hadits yang terdapat dalam kitab-kitab bukan ahli hadits, dan menerangkan hadits yang tidak ada asalnya. Seperti kitab :

"Nasbu ar-Rayati li ahaditsil hidayah"
Yang dikarang oleh al-Hafidz az-Zaila’i, dan kitab :

"Al-Mughni an hamlil asfar fi al-Asfar fi Takhriji ma fil ihyai minal akhbar"
Yang dikarang oleh al-Hafidh al-Iraqi, dan kitab :

"At-Talhis al-Habir fi Tahrij ahadits ar-Rafi'i al-Kabir"
Yang dikarang al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, dan juga kitab

"Tahriju Ahadits al-Kassyaf"
Yang juga dikarang al-Hafidh Ibnu Hajar Asqalani dan juga kitab :

"Tahriju ahadits as-Syifaa"
Yang dikarang oleh Syekh as-Suyuthi. Dan semua kitab-kitab tersebut diatas tercetak.

Padahal ulama-ulama ahli hadits tersebut, (semoga Allah membalas kebaikan mereka) telah memudahkan jalan bagi para ulama dan penuntut ilmu setelah mereka, sehingga mereka mengetahui derajat suatu hadits pada kitab-kitab itu dan kiab-kitab yang semisalnya. Akan tetapi kami melihat mereka (ulama’ dan penuntut ilmu) “dengan rasa prihatin”, telah berpaling dari membaca kitab-kitab yang tersebut di atas, mereka tidak mengetahui (dengan sebab berpaling dari membaca kitab-kitab tersebut diatas) keadaan hadits-hadits yang mereka hafalkan dari Syaikh-Syaikh mereka, atau yang mereka baca dari kitab-kitab yang tidak “memeriksa” hadits-hadits yang shahih atau dha’if, oleh karena itu hampir-hampir kita mendengarkan suatu nasihat dari orang-orang yang memberi nasihat, pengajian dari salah seorang ustadz atau khutbah dari seorang khathib, melainkan kita dapati hadits-hadits lemah atau palsu (disampaikan), dan ini adalah perkara yang membahayakan, (karena) dikhawatirkan atas mereka termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya :

“Artinya : Barang siapa berdusta dengan sengaja atas namaku maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka”. [Hadits shahih mutawatir]

Karena sesungguhnya mereka walaupun tidak berniat berdusta secara langsung tetapi telah melakukan perbuatan dosa, karena mereka menukil hadits-hadits semuanya (tanpa menyeleksi), sedang mereka mengetahui bahwa dalam hadits-hadits itu terdapat hadits dha’if dan maudhu’. Dan mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi isyarat dengan sabdanya :

“Artinya : Cukuplah seorang dianggap pendusta karena menceritakan perkataan yang ia dengar” [HR. Muslim]

Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau berkata :
“Ketahuilah tidak akan selamat seorang lelaki yang menceritakan apa saja yang ia dengar, dan selamanya seorang tidak akan menjadi pemimpin jika ia menceritakan setiap perkataan yang ia dengar”.

Imam Ibnu Hibban berkata dalam shahihnya halaman 27 tentang bab : “Wajibnya masuk neraka bagi seseorang yang menyandarkan sesuatu ucapan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia tidak mengetahui kebenarannya”.

Kemudian ia menukil dengan sanadnya dari Abu Hurairah secara marfu’ :

“Artinya : Barang siapa berkata atasku apa yang tidak aku katakan,maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. [Sanad hadits ini hasan, dan asalnya dalam shahih Bukhari dan Muslim]

Dan Imam Ibnu Hibban berkata tentang bab “khabar yang menunjukkan benarnya apa yang kami isyaratkan padanya pada bab yang lalu”. Lalu ia menukil dengan sanadnya dari Samrah bin Jundub, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Barang siapa menceritakan dariku suatu hadits dusta, maka ia termasuk seorang pendusta”. [Hadits riwayat Muslim]

Maka jelaslah dengan apa yang disebutkan (diatas), bahwa tidak diperbolehkan menyebarkan hadits-hadits dan riwayat-riwayatnya tanpa tasabbut (mencari informasi tentang kebenarannya). Dan barang siapa melakukan perbuatan itu (menyebarkan hadits tanpa mencari kejelasan tentang kebenarannya terlebih dahulu) maka ia terhitung berdusta atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya berdusta kepadaku, tidak sebagaimana berdusta kepada salah seorang (di antara kalian), barang siapa berdusta kepadaku secara sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka”.[HR. Muslim]

Oleh karena bahayanya perkara ini, saya berpendapat untuk memberi andil dalam “mendekatkan” pengetahuan tentang hadits-hadits yang kita dengar pada masa kini, atau hadits-hadits yang kita baca dalam kitab-kitab yang telah beredar, yang (tidak jelas kedudukannya) menurut ahli hadits, atau (hadits-hadits itu atasku palsu). Semoga hal ini menjadi peringatan dan mengingatkan bagi orang yang mengambil pelajaran sedang ia takut (kepada Allah Jalla Jala Luhu). [Lihat Silsilah Hadits Dhaifah halaman 47-51]

Hadits-hadits Dhaif dan maudhu yang tersebar dan diyakini (bahkan) diamalkan.

[1]. Hadits Palsu
Rasululla Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa diberi (oleh Allah Jalla Jala Luhu) kelahiran seorang anak, lalu ia beradzan di telinga anaknya yang sebelah kanan da iqomah di sebelah kiri, maka syetan tidak akan membahayakan anak tersebut” [Silsilah Hadits Dhaifah jilid I hadits nomor 321]

[2]. Hadits Palsu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa menunaikan haji ke Baitullah dan tidak berziarah (mengunjungiku) maka ia telah menjauhiku” [Silsilah Hadits Dhaifah jilid I hadits nomor 45]

[3]. Hadits Palsu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menunaikan haji, lalu berziarah ke kuburku sesudah aku mati,maka ia seolah-olah berziarah kepadaku ketika aku masih hidup” [Silsilah Hadits Dhaifah jilid I hadits nomor 47]

[4]. Hadits Palsu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa berziarah ke kubur orang tuanya atau salah seorang dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya diampuni dan ditulis baginya kebaikan” [Silsilah Hadits Dhaifah jilid I hadits nomor 49]

[5]. Hadits Palsu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa berziarah ke kubur kedua orang tuanya setiap hari Jum’at, lalu membaca di samping kubur kedua orang tuanya atau kubur salah seorang dari keduanya surat Yasin, niscaya diampuni dengan setiap ayat atau huruf (yang dibacanya)” [Silslah Hadits Dhaifah jilid I hadits nomor 30]

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi Th I/No. 03/Dzulhijjah 1423/Februari 2003. Diterbitkan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Redaksi Perpsutakaan Bahasa Arab Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]

Selasa, 15 Juli 2008

Beasiswa Al-Madinah International University

Beasiswa Al-Madinah International University

Ada kabar gembira bagi kaum muslimin yang mempunyai keinginan untuk belajar di Universitas islam Madinah, Saudi, tetapi tidak bisa kesana langsung. Di Indonesia sudah ada pendidikan yang berbasis internet dengan kurikulum yang disesuaikan dengan pendidikan di Madinah, namanya MEDIU (Al-Madinah International University). Info ini kami dapatkan dari website : www.muslim.or.id, yang selalu up to date menginformasikan tentang MEDIU. Semoga info ini bermanfaat..

Kampus virtual Al-Madinah International University (MEDIU) yang memiliki cabang di beberapa negara di dunia kembali menyediakan beasiswa untuk mahasiswa baru penerimaan bulan September 2008. Segera daftarkan diri Anda secara online melalui situs www.mediu.edu.my.

Universitas ini telah mendapatkan izin resmi dari Ministri of Higher Education (Kementrian Pendidikan Tinggi) Malaysia dan diakreditasi oleh Malaysian Qualification Agency. Dengan demikian lulusannya akan mendapatkan gelar dan ijazah yang diakui di negara Malaysia. Karena sistem pembelajarannya yang memadukan sistem jarak jauh (online) dan tatap muka, maka mahasiswa MEDIU harus bertempat tinggal di Yogyakarta, atau kota lainnya dimana terdapat Learning Center (LC) MEDIU.

Beasiswa diberikan kepada mahasiswa yang memenuhi syarat dengan rincian sebagai berikut:

  1. Bebas biaya pendidikan
  2. Materi perkuliahan (berupa buku ataupun CD)
  3. Uang saku USD.200/semester*
  4. Berkesempatan mendapat fasilitas laptop**

* Khusus bagi mahasiswa yang kurang mampu
** Statusnya dipinjamkan dan dapat menjadi hak milik setelah menyelesaikan studi

Untuk informasi dalam bahasa Indonesia Anda dapat mengunjungi Blog tidak resmi MEDIU Yogyakarta yang dikelola oleh Staff IT support Learning Center Yogyakarta. Di http://mediujogja.wordpress.com

Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat

Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أما بعد

Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:

  1. Ikhlas
  2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)

***

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.


Dinukil dari: www.muslim.or.id

Witir Dua Kali

Witir Dua Kali

Apakah boleh witir langsung setelah isya’? Kalau boleh, kemudian jika pada sepertiga malam bangun, terus sholat qiyamul lail, apakah sholat witir lagi atau tidak?

Jawab:

Diperbolehkan shalat witir setelah shalat isya’. Kami pernah menjelaskan masalah ini pada rubrik fiqih, edisi perdana, tahun XII. Sedangkan seseorang yang telah melakukan witir di awal waktu lalu ia bangun di akhir malam dan ingin menghidupkan sisa malamnya dengan shalat, apakah diperbolehkan? Bila diperbolehkan, apakah mengulangi witir ataukah tidak?

Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang terpilah dalam dua pendapat:

  1. Diperbolehkan shalat sunnah setelahnya dengan tidak mengulangi witirnya. Demikian ini madzhab kebanyakan ulama dari madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Hambaliyyah, dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’iyyah. Begitu pula, pendapat ini dipegang oleh an-Nakha’I, al-Auza’I dan Alqamah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Abu Bakr, Sa’ad, Amar, Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.

  2. Tidak diperbolehkan melakukan shalat sunnah witir setelah witir, kecuali dengan membatalkan witirnya dan shalat sesukanya kemudian witir lagi. Membatalkannya dengan menggenapkan witir sebelum tidur tersebut. Dimikian ini adalah pendapat lain dari madzhab syafi’iyah, dan diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Mas’ud,

Yang rajih (kuat), adalah pendapat pertama dengan dasar diperbolehkan shalat sunnah setelah witir dan larangan melakukan witir dua kali dalam satu malam.

Dalil yang membolehkan shalat sunnah setelah witir, misalnya dalam hadits ‘Aisyah, yang artinya:

Rasulullah apabila berwitir Sembilan raka’at(beliau) tidak duduk kecuali di raka’at kedelapan, lalu memuji Allah, mengingat dan berdo’a, kemudian bangkit tanpa salam, kemudian shalat raka’at kesembilan, lalu duduk dan berdzikir kepada Allah dan berdo’a kemudian salam satu kali. Beliau perdengarkan salamnya kepada kami. Kemudian (beliau) shalat dua raka’at dalam keadaan duduk. (HR. Muslim dan an-Nasa’i).

Dalil larangan shalat witir dua kali dalam satu malam, yaitu hadits Thalq bin ‘Ali yang berbunyi:

إِنِّيْ سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُوْلُ لَاوِتْرَانَ فِيْ لَيْلَةٍ

Artinya: Sungguh aku telah mendengar Nabi bersabda: “Tidak ada dua witir dalam satu malam”. (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam shahih aljami’, no. 13525 dan Shahih Abu Dawud, no. 1439).

Dengan demikian diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah di akhir malam setelah melakukan witir di awal malamnya. Wallahu a’lam.

Disadur dari rubrik Tanya-Jawab Majalah As-Sunnah Edisi Juni 2008.

Surat Al-Ikhlas

Surat Al-Ikhlas Sebanding dengan Sepertiga Al-Quran

Disebutkan dalam hadits shahih, yang artinya:

“Dari Abu Sa’id al-Khudhri, bahwasanya ada orang mendengar seseorang membaca ‘qul huwallahu Ahad’, dan diulang-ulang. Pada keesokan harinya, ia mendatangi Rasulullah dan melaporkannya, seakan ia menganggap remeh. Maka Rasulullah bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an’ “. (Shahih Bukhari, no.5013).

“Dari Abu Sa’id, ia berkata, ‘Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, ‘Apakah salah seorang dari kalian mampu untuk membaca sepertiga al-Qur’an dalam satu malam?’. Maka hal ini memberatkan mereka, mereka bertanya: ‘Siapakah diantara kami yang mampu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah pun bersabda: ‘Allahul-wahidus shamad adalah sepertiga Al-Qur’an’ “. (Shahih al-Bukhari no.5015).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maksudnya ialah, bahwa al-Qur’an diturunkan menjadi tiga bagian, sepertiga bagian adalah hukum-hukum, sepertiga berisi janji dan ancaman, dan sepertiga bagiannya terdiri nama dan sifat Allah; dan surat ini mengumpulkan antara nama dan sifat-sifat (Allah)”. (Jawab ‘alil-Ilmi wal-Iman, hlm. 113).

Syaikhul islam juga berkata: “Apabila (qul huwallahu ahad) sebanding dengan sepertiga al-Qur’an, bukan berarti ia lebih utama dari al-Fatihah; dan tidak pula mencukupkan diri membaca al-Qur’an dengan membacanya sebanyak tiga kali. Akan tetapi, apabila dibaca (qul huwallahu ahad) terpisah sebanyak tiga kali atau lebih dari itu, maka pembacanya mendapatkan pahala yang sebanding dengan sepertiga al-Qur’an, namun perbandingan sesuatu bukannya dari jenisnya”. (Jawab ‘alil-Ilmi wal-Iman, hal. 133, 134).

Ketika surat ini dibaca saat me-ruqyah, didapatkan adanya perbedaan pegaruh yang ditimbulkan antara satu orang dengan yang lain tidak sama, yang ini berpengaruh dan yang lainnya tidak ada pengaruhnya. Dalam ini Syaikhul Islam berkata: “Tidaklah (qul huwallahu ahad) setiap orang bermanfaat untuk setiap orang”. (jawab ‘alil-Ilmi wal-Iman, hal. 141).

Syaikh ‘Abdurrazaq menjelaskan, “Sungguh ada perbedaan pengaruh bacaan yang dibaca, walau surat yang dibaca sama, karena adanya pengaruh hati si pembaca dari kejujuran, keikhlasan, penghayatan, keyakinan, harapan dan kekhusyu’an…” (Ustadz Mu’tasim).

Disadur dari rubrik Adzkar Majalah As-Sunnah Edisi Juni 2008.

Rabu, 09 Juli 2008

Faidah Hadits Mencintai Saudaranya...

Faidah Hadits Mencintai Saudaranya...

لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّىيُحبَّ لِأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ

[مِنَ الْخَيْرِ]

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi, beliau bersabda:

Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”.

(HR. Bukhari no.13 dan Muslim no.45)

Faidah-Faidah Hadits diatas:

1. Diperbolehkan menafikan sesuatu karena tidak adanya kesempurnaan padanya, seperti sabda Nabi:

لَاصَلَاةَ بِحَضْرَةِالطَعَامِ

Tidak ada sholat ketika makanan telah disajikan.” (Shahih, HR. Muslim no.560)

Maksudnya, shalatnya tidak sempurna, Karena hati orang yang shalat tersebut akan menjadi sibuk oleh makanan yang tersaji itu, dan contoh seperti ini sangat banyak.

2. Sesorang wajib mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Sebab, dinafikannya iman dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri menunjukkkan wajibnya perbuatan tersebut, karena keimanan tidak boleh dinafikan kecuali karena hilangnya sesuatu yang wajib padanya atau adanya sesuatu yang menafikan keimanan tersebut.

3. Termasuk keimanan pula, membenci untuk saudaranya apa yang dibenci untuk dirinya sendiri.

4. Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sikap egois, membenci orang lain, hasad dan balas dendam, karena orang yang di dalam hatinya terdapat semua sifat ini berarti tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, bahkan ia berharap nikmat yang Allah berika pada saudaranya yang beriman itu hilang darinya. Nas-alullahas Salamah wal-‘Afiyah.

5. Setiap mukmin dan mukminah wajib menjauhi sifat hasad (dengki, iri) dan sifat buruk lainnya karena dapat mengurangi imannya.

6. Hadits ini menunjukkkan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan sebab melakukan kemaksiatan.

7. Mengamalkan kandungan hadits ini menjadikan tersebarnya rasa cinta diantara pribadi-pribadi dalam satu masyarakat islami dan akan saling tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga bagaikan satu tubuh.

8. Mencintai kebaikan untuk seorang muslim merupakan salah satu cabang keimanan.

9. Berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan kesempurnaan iman.

10. Anjuran untuk mempersatukan hari manusia dan memperkuat hubungan antara kaum mukminin.

11. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih saying.

12. Umat islam hendaknya menjiadi laksana satu bangunan dan satu tubuh. Ini diambil dari bentuk keimanan yang sempurna yaitu mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirina sendiri.

Wallahu a’lam.

Faidah hadits diatas dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi Juni 2008

Hukum Air Liur

Hukum Air Liur

Soal:

Bagaimanakah hukum air liur yang keluar dari mulut seseorang ketika tidur? Apakah air liur yang mengalir itu berasal dari mulut ataukah dari lambung? Jika kita menghukumi najis, bagaimanakah cara menghindarinya?

Jawab:

Air liur yang keluar dari mulut seseorang ketika tidur, hukumnya suci, tidak najis. Dan hukum asal bagi semua benda yang keluar dari jasad manusia adalah suci, kecuali yang dijelaskan dalil tentang kenajisannya; berdasarkan sabda Rasulullah:

إِنَّ المُؤْمِنَ لَايَنْجُسُ

“Sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis”. (HR. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, 1/74,75, dari hadits Abu Hurairah. Hadits ini memiliki kisah)

Jadi, air liur, keringat, air mata dan kotoran yang keluar dari hidung, semuanya suci. Karena demikianlah hukum asalnya. Sedangkan air kencing dan berak, serta semua yang keluar dari dua jalan (itu), hukumnya najis.

Air liur yang keluar dari mulut seseorang saat tidur, termasuk kategori sesuatu yang suci, seperti ingus, ludah atau yang sejenisnya. Dengan landasan ini, maka tidak wajib atas seorang muslim untuk mencucinya, juga tidak wajib mencuci sesuatu yang terkena air liur, seperti pakaian dan kasur.

Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatis-Syaikh Shaleh Fauzan, 5/10

Dinukil dari: Majalah As-Sunnah Edisi Juni 2008


Senin, 07 Juli 2008

TUNTUNAN ISLAM KETIKA BERSIN

TUNTUNAN ISLAM KETIKA BERSIN


Kita sering mendengar orang bersin. Bahkan kita pun sering melakukan bersin. Bagaimana tuntunan islam ketika kita bersin atau mendengar orang bersin? Berikut ini tuntunannya sesuai dengan yang diajarkan oleh rasulullah sallallahu álaihi wasallam.

1. Rasulullah sallallahu álaihi wasallam bersabda , “Apabila seseorang di antara kamu bersin, hendaklah mengucapkan,

الْحَمْدُ لِلَّهِ

[alhamdulillaah]
(Segala puji bagi Allah) ,
2. lantas saudara atau temannya meng-ucapkan,

يَرْحَمُكَ اللهُ

[Yarhamukallooh]
(Semoga Allah memberi rahmat kepa-daMu) .

3. Bila teman atau saudaranya mengucapkan demikian, bacalah,

يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

[Yahdiikumullooh Wa Yushlihu Baalakum]
(Semoga Allah memberi petunjuk kepa-damu dan memperbaiki keadaanmu).” [HR. al-Bukhari 7/125]

Semoga kita bisa mengamalkan ajaran rasulullah yang berkaitan dengan bersin ini. Amien

Menjama` Shalat karena Hujan

Menjama` Shalat karena Hujan

Sebagai agama kemudahan, Islam senantiasa memberikan kemudahan kepada seorang Muslim untuk melakukan ibadahnya bilamana menghadapi kondisi yang menyulitkannya. Salah satunya dalam kondisi hujan turun, di mana dibolehkan menjamak shalat.

Pengertian Jamak

Jamak artinya menggabungkan. Menjamak shalat artinya menggabungkan antara dua shalat dalam satu waktu, yaitu menggabungkan antara shalat yang empat raka’at saja; shalat Zhuhur dan ‘Ashar, shalat Maghrib dan ‘Isya.

Dalil-Dalil Mengenai Menjamak Shalat Karena Hujan

Sesungguhnya ada banyak nash yang terkait dengan hal ini dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alahi wasallam, di antaranya:

  • Hadits dari Ibn ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara bersama-sama (menjamaknya), maghrib dan ‘Isya juga secara bersama-sama (menjamaknya), bukan dalam kondisi ketakutan atau perjalanan.” (HR.Muslim) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bukan dalam kondisi takut dan hujan.” (HR.Muslim) Imam Malik mengomentari, “Menurutku, itu dilakukan saat hujan turun.”

  • Dari Shafwan bin Sulaim, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar di hari di mana hujan turun dengan lebat.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

  • Dari Nafi’, bahwa penduduk Madinah selalu menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di malam di mana hujan turun dengan lebat, lalu Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma shalat bersama mereka, tidak mencela mereka.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

  • Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’, bahwa bila para Amir menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di saat hujan, Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma juga menjamak shalat bersama mereka.’ (HR.Malik)


Pendapat Ulama Seputar Menjamak Shalat Karena Hujan

Terdapat beragam pendapat ulama fiqih dengan keempat mazhabnya dalam masalah ini, namun karena keterbatasan ruang, di sini akan dikemukakan pendapat yang kuat saja, yang menyinkronkan antara pendapat-pendapat mazhab tersebut. Yaitu boleh menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya karena turunnya hujan seperti pendapat mazhab asy-Syafi’i. Menjamak shalat dalam kondisi ini tidak hanya khusus untuk shalat Maghrib dan ‘Isya saja sebagaimana dikemukakan mazhab Hanbali dan Maliki, tetapi juga -seperti disebutkan dalam hadits- bahwa beliau shallallahu 'alahi wasallam menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar.

Selain itu, juga tidak disyaratkan berkelanjutannya hujan agar shalat pertama bersambung dengan shalat kedua sebagaimana pendapat asy-Syafi’i. Tetapi bila sudah ada sebab untuk menjamak, yaitu hujan, seperti ada mendung di langit dan menetesnya air di atas tanah, maka boleh menjamak. Hal ini berdasarkan jamak yang dilakukan Umar Radhiallahu ‘anhu, “Di hari di mana hujan turun dengan lebat” dan jamak yang dilakukan penduduk Madinah, “Di malam di mana hujan turun dengan lebat.” Di sini, lebatnya hujan dikaitkan dengan ‘hari’ atau ‘malam,’ bukan dengan ‘saat didirikannya shalat.’ Ini lebih umum dari sekedar adanya kondisi hujan turun saat shalat sedang didirikan, sebab al-Yaum (hari) disebut ‘Mathir’ bilamana banyak turun hujan (lebat), sekalipun dinaungi oleh kondisi cerah saat shalat sedang didirikan. Hukum ini didasari pada kaidah, “Bila ditemukan sebab hukum, maka boleh mendahulukan ibadah berdasarkan syarat hukum tersebut.”

Syarat Menjamak Shalat Karena Hujan

  • Jamak tersebut dilakukan terhadap dua shalat siang; Zhuhur dan ‘Ashar, dan dua shalat malam; Maghrib dan ‘Isya. Tidak boleh menjamak shalat siang dengan shalat malam, seperti menjamak shalat ‘Ashar dengan shalat Maghrib, atau menjamak shalat malam dengan shalat fajar, seperti menjamak shalat ‘Isya dan Shubuh, atau menjamak shalat Shubuh dan Zhuhur.

  • Niat. Namun di sini, para ulama berbeda pendapat mengenai letak niat tersebut. Bahkan al-Muzanni, murid Imam asy-Syafi’i mengatakan tidak disyaratkannya niat, sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam sering menjamak shalat, namun tidak terdapat riwayat yang menyebutkan beliau meniatkan jamak. Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiah. Di antara argumentasi yang dikemukakannya adalah bahwa tatkala Nabi shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur di ‘Arafah bersama para shahabatnya, beliau tidak memberitahukan terlebih dulu kepada mereka bahwa setelah itu akan shalat ‘Ashar, tapi kemudian setelah itu, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka. Sementara para shahabatnya pun tidak meniatkan jamak. Ini adalah shalat Jamak Taqdim. Demikian pula tatkala keluar dari Madinah, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka di Dzi al-Hulaifah dengan dua raka’at saja, namun tidak menyuruh mereka untuk meniatkan Qashar (Memendekkan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at).

  • Tertib (Berurutan). Imam an-Nawawi menyebutkan, disyaratkan pada jamak Taqdim untuk memulainya dengan shalat pertama (shalat pada waktu itu), sebab itu adalah waktunya, sedangkan shalat kedua mengikutinya. Sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam menjamak pun demikian, sedang beliau shallallahu 'alahi wasallam sering bersabda, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Andaikata seseorang memulai dengan shalat kedua terlebih dulu, maka tidak sah shalatnya, dan ia wajib mengulanginya dengan mengerjakan shalat yang pertama secara jamak.

  • Berturut-turut antara kedua shalat yang dijamak. Artinya, tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu panjang. Dan panjangnya jeda ini merujuk kepada tradisi. Akan tetapi menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiah, hal ini tidak disyaratkan sama sekali. Beliau berargumentasi, “Pendapat yang benar, tidak disyaratkan berturut-turut sama sekali, baik di waktu shalat pertama atau di waktu shalat kedua, sebab batasan tentang itu tidak terdapat di dalam syariat, demikian pula, menjaga hal itu dapat menggugurkan tujuan Rukhshah.”


Menjamak Shalat Karena Hujan Di Rumah

Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam mazhab Syafi’i sendiri terdapat dua pendapat; ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh. Demikian pula dalam mazhab Hanbali.

Di antara alasan pendapat yang membolehkannya, pengarang kitab Manar as-Sabil berkata, “Sebab bila ditemukan ‘udzur, maka kondisi kesulitan dan tidaknya sama dalam hal itu, seperti dalam perjalanan. Alasan lainnya, karena Nabi shallallahu 'alahi wasallam pernah menjamak pada saat hujan, padahal antara biliknya dan masjid tidak ada sesuatu pun.

Boleh Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Apa Yang Diucapkan Muazin

Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits, di antaranya:

  • Dari Abu al-Malih, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam memerintahkan kepada muazinnya pada perang Hunain, (agar memanggil) :“Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)

  • Dari Nafi’, bahwa Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma singgah di Dhanjan pada malam yang dingin, lalu ia memerintahkan muazin agar memanggil, “Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)

  • Dari Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, bahwa ia mengumandangkan azan shalat pada malam yang dingin dan berangin. Maka beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” Ibn ‘Umar berkata, “Sesungguhnya bila malam dingin dan turun hujan, Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam menyuruh muazin, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” (HR.Abu Daud)

  • Ibn ‘Abbas Radhilallahu ‘anhuma pernah berkata kepada muazinnya pada hari di mana hujan turun, “Bila kamu mengumandangkan Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, maka janganlah kamu kumandangkan, Hayya ‘Alash Shalah (Mari menuju kemenangan), tetapi kumandangkanlah, Shallu Fi Buyutikum (Shalatlah kamu di rumah-rumah kamu). Saat itu orang-orang seolah protes, maka Ibn ‘Abbas berkata, “Ini sudah dikerjakan oleh orang yang lebih baik dariku, sesungguhnya Jum’at itu ‘Azam dan sesungguhnya aku tidak suka menyusahkan kamu untuk berjalan dalam kondisi tanah berlumpur dan licin.” (HR.al-Bukhari)

  • Ibn ‘Umar menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bahwa beliau memerintahkan muazin agar mengumandangkan azan waktu shalat, kemudian menyerukan, “Shalatlah di kendaraan-kendaraan kamu.!” Hal itu di malam yang dingin dan turun hujan dalam perjalanan. (HR.Abu Daud)


(SUMBER: Bahts Mukhtashar Fi al-Jam’i Baina ash-Shalatain Fi al-Mathar, DR.Sa’duddin bin Muhammad al-Kabbi), oleh: Hanif Yahya Abu Hafshah

Diambil dari: www.alsofwah.or.id

Profil Rumah Muslim Ideal

Profil Rumah Muslim Ideal

Rumah merupakan kebutuhan yang didambakan oleh setiap insan. Di sanalah tempat mereka bercengkrama bersama keluarga, melepas kepenatan dan permasalahan hidup, membina isteri dan anak-anak. Di sanalah tempat seseorang bersembunyi dari aib diri dan keluarga, menjaga diri dari panas dan hujan, menghindarkan keluarga dari mara bahaya. Dan disanalah tempat seseorang menumpahkan segala kebutuhan dan memperoleh kebahagiaan.

Tidak diragukan lagi bahwa rumah seorang muslim yang ideal adalah rumah yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding yang lainnya, teristimewa dalam hal ciri dan tandanya, adab dan etikanya, perhatian dan arahannya, serta tujuan dan kepentingannya. Demikian pula teristimewa dalam hal obsesi dan misinya.

Di antara ciri dan keistimewaan rumah seorang muslim yang iltizam (komitmen), adalah sebagai berikut:

  • Rumah yang di dalamnya senantiasa dihidupkan ibadah kepada Allah subhanahu wata'aala dan terhindar dari perbuatan syirik. Ikhlas dan jauh dari riya’ (mengharap pujian orang). Karena Allah subhanahu wata'aala memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk beribadah, menyembah dan menauhidkanNya dan menjauhi perbuatan syirik. Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".(QS. adz-Dzariyat: 56). Dalam ayat yang lain, artinya, "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun". (QS. an-Nisaa`: 36). Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam juga bersabda dalam hadits qudsi, “Aku tidak butuh terhadap sekutu-sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan ia menyekutukan Aku dengan selain diri-Ku (dalam amalnya tersebut) maka pasti Aku tinggalkan dirinya dan sekutunya". (HR. Muslim)

  • Rumah yang di dalamnya terdapat amal ibadah yang berdasarkan ittiba` (mengikuti petunjuk rasul shallallahu 'alahi wasallam) dan terhindar dari perbuatan bid`ah (amal ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam).

    Firman Allah subhanahu wata'aala, artinya, "Katakanlah, “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".(QS. Ali Imran: 31).

    Dalam ayat yang lain, artinya, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". (QS. an-Nur: 63).

    Demikian pula Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat beliau bertanya, “Siapa yang enggan masuk surga wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Siapa yang mentaati aku pasti masuk surga dan siapa yang membangkang tidak mentaati aku sungguh ia telah enggan untuk (masuk surga).” (HR. al-Bukhari)

    Dalam sabda beliau yang lain, "Siapa yang mengada-adakan (suatu perbuatan) di dalam agama kami ini yang tidak termasuk darinya, maka ia tertolak". (Muttafaqun `alaih)

  • Rumah yang berdiri diatas ketaqwaan kepada Allah, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (saling mengasihi). Hal itu juga merupakan tujuan pokok terjalinnya 'mitsaaqan ghalizha' (perjanjian yang kuat) antara kaum Adam dan Hawa.

  • Rumah yang senantiasa di dalamnya dihidupkan nuansa ilmu(syar`i) dan berpengetahuan. Sungguh Allah subhanahu wata'aala akan mengangkat derajat orang berilmu beberapa derajat, dan Allah subhanahu wata'aala mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tentunya akan sangat berbeda antara rumah yang berpenghuni hamba yang berilmu dan mengamalkannya dan rumah dengan berpenghuni orang yang tidak mengerti ilmu syar`i.

    Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". (QS. az-Zumar: 9)

  • Rumah yang di dalamnya senantiasa dihidupkan kebiasaan saling tolong-menolong, bahu membahu antara anggota keluarga dalam rangka kebaikan dan taqwa.

  • Rumah yang di dalamnya terdapat hubungan yang sangat baik antara suami isteri dan menjadikan rumah tersebut sebagai madrasah tempat mendidik, mengarahkan dan membimbing anak-anak. Suami adalah pemimpin yang senantiasa mengayomi, membimbing, menyayangi orang yang berada di bawah tanggung-jawabnya. Isteri juga hendaknya senantiasa menaati suami (dalam kebaikan), menjaga diri, harta, dan menjadi pembimbing yang baik bagi anak-anak. Demikian pula seorang anak, ia wajib menaati kedua orang tuanya, berbuat baik, dan tidak menjadikan mereka sakit hati akibat prilaku buruknya. Dan masing-masing harus selalu ingat, bahwa ia akan bertanggungjawab di hadapan Allah subhanahu wata'aala.

    Dan hendaknya setiap orang tua senantiasa menasihati anak-anaknya, sebagaimana 'Luqman' menasihati anaknya, agar menyembah hanya kepada Allah subhanahu wata'aala saja, menjauhi syirik, menghindari perbuatan dosa sekecil apa pun bentuknya karena Allah subhanahu wata'aala Maha melihat segala apa yang tersembunyi. Demikian juga janganlah ia meremehkan perbuatan baik, walaupun kecil bentuknya karena Allah subhanahu wata'aala akan mengganjarnya, mendirikan shalat, mengajak untuk berbuat yang ma`ruf, mencegah dari perbuatan maksiat, bersabar, dan janganlah memalingkan muka terhadap sesama atau berjalan dengan congkak dan sombong.

  • Berpenghuni orang-orang yang adil dan tidak berbuat zhalim, baik terhadap para isteri, anak-anaknya, tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, dan berbuat baik kepada pembantu. Hal tersebut juga merupakan ciri khas rumah muslim ideal.

    Demikianlah Allah subhanahu wata'aala memerintahkan kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya, artinya, "Berbuat adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa". (QS. al-Maidah: 8).

    Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam juga bersabda, "Siapa yang memiliki dua isteri, lalu lebih condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan sebelah badannya miring". (HR. Ahmad dan Abu Daud, dan dinilai shahih oleh al-Albani).

    Dan dari Nu`man bin Basyir bahwa ayahnya membawa beliau datang kepada Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, lalu ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam, Sesungguhnya saya telah memberikan kepada anakku ini (Nu’man) seorang budak milikku, kemudian Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bertanya, “Apakah seluruh anakmu engkau berikan seperti dia?” Ia menjawab, “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam pun bersabda, “Kembalikan (budak tersebut)". Dalam sebuah riwayat beliau bersabda, "Takutlah kalian kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian".(Muttafaq `alaih).

  • Merupakan keistimewaan rumah muslim ideal adalah rumah yang di dalamnya hidup sifat 'itsaar' (lebih mendahulukan orang lain walaupun ia membutuhkan), dan memuliakan orang lain, berbuat baik serta menghormati tetangganya. Sifat inilah yang hampir-hampir tidak kita dapati di rumah-rumah muslim zaman ini. Sebaliknya sifat individualismelah yang semakin membudaya, acuh tak acuh terhadap orang lain, sampai-sampai kepada tetangga terdekat pun ia tidak mengenalnya, lebih-lebih mengetahui kondisinya: Apakah tetangganya membutuhkan bantuan, sakit, kelaparan atau pun yang lainnya. Ia sama sekali tidak peduli.

    Dalam hal ini Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Dan mereka lebih mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(QS al-Hasyr: 9)

  • Rumah yang di dalam anggota keluarga memiliki sifat saling memaafkan, tidak saling menyalahkan bahkan merasa dirinyalah yang bersalah apabila terjadi kesalahpahaman dengan orang lain sehingga ia bersegera mengoreksi dirinya. Saling menasihati karena agama adalah nasihat, dengan nasihat yang baik dan dengan cara yang baik, mudah-mudahan seseorang akan kembali dan bertaubat dari kekeliruannya, saling menepati janji, tidak berkhianat, menghormati tamu karena hal ini adalah termasuk ciri kesempurnaan iman seseorang, berbuat baik dan menyayangi anak-anak yatim serta mencukupi kebutuhan mereka, karena Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Saya dan orang yang mencukupi kebutuhan anak yatim di surga seperti ini, beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah".(HR. al-Bukhari). Maksudnya orang yang mengurus anak yatim akan bersama beliau di surga.

  • Rumah yang didalamnya senantiasa memberikan perhatian utama terhadap urusan shalat, membaca al-Qur`an, zikrullah, tasbih, tahmid ataupun tahlil, doa-doa ataupun dzikir-dzikir yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, seperti keluar dan masuk rumah, makan, mau tidur dan bangunnya, memakai pakaian ataupun lainnya. Demikian pula senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah terutama di waktu-waktu yang mustajab, qiyamul lail, dan bentuk ibadah-ibadah yang lain.

  • Rumah muslim ideal adalah rumah yang sederhana, tidak berlebih-lebihan, tidak pula bermegah-megahan. Penghuninya senantiasa menyambung silaturrahim terhadap kerabat dan saudara, berbakti kepada orang tua, memperhatikan hak-hak hewan, dan memperhatikan hak-hak masyarakat, peka dan peduli terhadap urusan dan kebutuhan masyarakat, Islam dan kaum Muslimin serta menafkahkan hartanya dalam rangka ketaatan kepada Allah subhanahu wata'aala.

Saudaraku, ingatlah bahwa setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wata'aala kelak, Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya." (Mutta-faq 'Alaih). Maka perhatikanlah hal-hal tersebut di atas agar rumah kita menjadi rumah yang benar-benar seperti rumah Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam dan para sahabatnya karena tidak ada qudwah yang lebih baik dibanding rumah Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam dan para sahabatnya. Wallahu A`lam.

Oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim.

Sumber: Disadur dari artikel berjudul "Jawanib at-Tamayyuz Fi Baitil-Muslim", DR. Ahmad bin Utsman al-Mazid dan DR. Adil bin Ali asy-Syuddi.

Diambil dari: www.alsofwah.or.id

Hikmah Penciptaan Dua Tangan

Allah menciptakan sepasang tangan sebagai alat dan senjata bagi manusia dan sebagai modal baginya dalam kehidupan ini. Allah memanjangkan keduanya sehingga dapat meraih bagian tubuhnya yang manapun. Lalu Allah membuat lebar telapak tangan agar ia dapat menggenggam dan menghamparkan. Allah melengkapinya dengan lima jari. Masing-masing jari diberi tiga ruas, sedangkan jempol hanya dua ruas.

Allah menempatkan jempol di satu sisi dan keempat jari lainnya di sisi lainnya agar jempol dapat meraih seluruh jari lainnya. Jari-jari tersebut ditempatkan pada tempat yang layak digunakan untuk memegang, menggenggam, menghamparkan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan. Sekiranya seluruh umat manusia dahulu dan sekarang berkumpul untuk memikirkan penempatan jari-jemari selain tempat yang telah ditetapkan allah niscaya mereka tidak akan menemukan tempat lain yang lebih sesuai untuknya.

Maha Suci Allah, sekiranya Dia berkehendak menjadikan semua jari itu sama rata tanpa ruas seperti pedang niscaya manusia tidak akan dapat melakukan berbagai aktifitas, pekerjaan, kerajinan tangan dan lain sebagainya. Diciptakannya ruas-ruas bagi jari, membuat manusia dapat melakukan apa yang diinginkannya. Jika ia genggam maka bisa sebagai alat cengkeram dan alat pukul. Jika ia hampar sedikit dan genggam sedikit maka bisa menjadi alat penampung dan penciduk untuk menerima dan memegang sesuatu yang diberikan kepadanya.

Kemudian Allah menghiasinya dengan kuku di ujung jari-jemari yang berfungsi sebagai hiasan, tiang penyangga dan pelindungnya. Dengan kuku tersebut ia dapat memungut benda-benda yang kecil yang tidak dapat dipungut oleh ruas jari. Dan kuku juga berfungsi sebagai senjata bagi hewan dan burung, sebagai alat untuk mengais rejeki mereka. Manusia dapat menggaruk badannya dengan kuku bila dibutuhkan.Kuku yang merupakan anggota tubuh yang kecil dan dipandang remeh, sekiranya tubuh manusia tidak dilengkapi dengannya kemudian ia butuh menggaruk badannya, niscaya tidak ada anggota tubuh lainnya yang dapat menggantikan fungsi kuku dalam hal ini.

Kemudian tangan menuntunnya ke tempat yang gatal hingga dapat dicapai oleh kuku, meskipun saat tidur atau tanpa disadari tanpa harus diminta. Sekiranya ia meminta bantuan kepada orang lain untuk menggaruknya niscaya tidak akan dapat dengan mudah mencapai tempat yang gatal, pasti ia kesulitan menemukan tempat yang gatal itu!Kemudian, coba perhatikan hikmah dimatikannya rasa dari kuku-kuku tersebut. Sebabnya, kuku itu akan memanjang dan butuh dipotong atau dipendekkan. Sekiranya diberi rasa, niscaya akan mengalami dua kesulitan. Pertama, ia terpaksa memanjangkannya sehingga menjadi buruk dan berat baginya. Ke dua, ia harus memotongnya dengan merasakan sakit dan pedih yang luar biasa.Kemudian, coba perhatikan leher yang menjadi penyangga kepala. Terkomposisi dari tujuh tulang yang berongga dan bulat. Kemudian menyusunnya sedemikian rupa, masing-masing tulang disusun secara rapi dan kokoh, sehingga seolah menjadi satu kesatuan.

Kemudian leher tersebut disambungkan ke punggung dan dada. Kemudian punggung disambung dari atas sampai ke bawah dengan tulang-tulang punggung sebanyak 24 tulang yang saling tersambung satu sama lain. Itulah pusat seluruh otot dan uratnya yang apabila tidak diikat dengannya niscaya otot dan urat tersebut pasti terurai dan tercerai-berai. Kemudian tulang-tulang tersebut disambung satu dengan lainnya sehingga tulang punggung tersambung dengan tulang dada, tulang bahu tersambung dengan tulang lengan atas, tulang lengan atas bersambung dengan tulang lengan bawah (tulang hasta), tulang hasta bersambung denagn tulang pergelangan tangan dan tulang jari.

(Keajaiban-keajaiban Makhluk dalam Pandangan al-Imam Ibnul Qayyim,
Pustaka Darul Haq)

dinukil dari: http://www.alsofwah.or.id/

Kamis, 03 Juli 2008

Kemana Arah Pendidikan Kita?

Apa pendapat anda tentang siswa-siswa di sekolah-sekolah pada umumnya? Pembicaraan mengenai remaja memang sangat menarik. Pasalnya, karena menyangkut generasi masa depan yang akan memegang tongkat estafet generasi sekarang. Namun, alih-alih menjadi insan-insan yang santun dan baik sehingga menjadi kebanggaan orang tua, dan generasi penerus bangsa, justru sebagian mereka menyumbang permasalahan di tengah masyarakat.

Tawuran antar pelajar, pergaulan bebas siswa-siswi, merokok, kenakalan remaja, bolos sekolah, telah menjadi realita dan buah bibir dalam ranah pendidikan di negeri ini. Bahkan, dimungkinkan pelaku kenakalan remaja diatas juga melibatkan siswa yang berotak cemerlang.

Kabar terakhir, bocornya soal-soal ujian dan jalinan kerja sama antara guru dengan murid untuk memuluskan kelulusan dengan dalih supaya tingkat kelulusan menjadi 100% dan nama sekolah pun tetap harum di masyarakat. Maka mengelus dada dan merasa sedih dengan kondisi tersebut, rasanya menjadi “wajib” bagi praktisi pendidikan dan masyarakat pada umumnya.

Fakta ini, tidak bisa tidak, kian menambah daftar pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan seluruh pihak yang terkait dengan urusan pendidikan. Ini bukan berarti mengingkari sisi kebaikan output-output yang telah dihasilkan oleh sekolah-sekolah (umum). Akan tetapi, merupakan bentuk keprihatinan, mengapa fenomena yang tidak menggembirkan itu terjadi. Sehingga layak diajukan sebuah pertanyaan, hendak dibawa kemana calon-calon generasi penerus bangsa itu?Jika demikian, nampaknya aspek moralitas masih jauh panggang dari api. Belum ada keseimbangan perhatian dalam pembentukan insan cerdas, dan sekaligus menjadi pribadi yang bermoral tinggi dan berbudi luhur. Untuk yang terakhir, manakala budi luhur itu dikesampingkan, maka berimplikasi sangat buruk bagi dunia pendidikan. Robohnya tonggak-tonggak pendidikan yang pincang lagi tanpa ruh itu tinggal menunggu kehancurannya.

Dalam aspek pendidikan, selain aspek kecerdasan otak, Islam juga menaruh perhatian pada kecerdasan akal. Dalam Islam, pembicaan jiwa, mental dan moralitas berjalan seiring dan seimbang. Akan tetapi sebagian masayarakat masih apriori dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Jiwa sangat membutuhkan pendidikan dan pembinaan. Allah telah mengutus para rasul untuk memperbaiki keadaan dalam semua aspek kehidupan. Tatkala ajaran-ajaran yang bersumber dari wahyu tidak menjadi pilihan, maka tak mustahil akan timbul kerusakan. Meski seseorang telah mengenyam pendidikan sekian lama, namun fakta berbicara bahwa sebagian manusia yang telah berhasil merengkuh beragam gelar, tidak mencerminkan insan berhati manusia.
Imam Ibnul Qoyyim menuliskan dalam Miftahu Daris Sa’adah (1/262), bahwa setiap ruh yang tidak dibina oleh para rasul, niscaya tidak akan selamat dan tidak layak untuk kebaikan. Kemudian mengutip ba’it syair berikut:

لُبَانًالَهُ قْدْ دْرَّمِنْ ثَدْيِ قُدْسِهِ
وَمَنْ لَا يَرْبِيْهِ الرَسُوْلُ وَيَسْقِهِ
وَلَايَتَعَدَّى طَوِرَأَبْنَاءِجِنْسِهِ
فَذَاكَ لَقِيْطٌ مَالَهُ نِسْبَةُ الوَلَا


Dan barangsiapa tidak terdidik oleh Rasul dan meneguk
Air susu yang memancar dai mata air kesuciannya
Itulah anak terlantar, tiada memiliki garis keturunan
Tiada melewati batas lingkaran insan-insan lainnya

Jadi, sudah saatnya, pembelajaran agama Islam yang bermisi pembentukan akhlak nan luhur dan budi pekerti nan tinggi menjadi perhatian bagi kita seluruh kaum muslimin. Wallahul Muwaffiq.

Dikutip dari: Majalah Assunnah Edisi Juni 2008 M

Rabu, 02 Juli 2008

Apa Landasan Dasar Ahlus Sunah wal Jamaah dalam Akidah dan Urusan Agama Lainnya?

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin

Jawaban:

Landasan dasar Ahlus sunah wal Jamaah dalam bidang akidah dan urusan-urusan agama lainnya adalah berpegang erat kepada kitabullah dan sunah rasul-Nya serta petunjuk dan sunah para khulafaur rasyidin, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. 'Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali Imran:31).

Allah juga berfirman, "Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (An-Nisa': 80).

Kemudian juga berfirman, "Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makah adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya." (Al-Hasyr: 7).

Walaupun konteks ayat di atas berkaitan dengan masalah pembagian ghanimah (harta rampasan), tetapi lebih utama jika dikaitkan dengan masalah-masalah syari'at, karena Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkhutbah kepada manusia pada hari Jum'at seraya bersabda, "Amma ba'du; sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru dan segala perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan berada dalam neraka." (HR Muslim).

Kemudian Rasulullah bersabda, "Hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidun sesudahku. Berpeganglah erat-erat terhadapnya dan jauhilah segala perkara yang baru, karena segala perkara yang baru adalah bid'ah dan segala yang bid'ah adalah sesat." (Diriwayatkan Abu Dawud).

Masih banyak lagi nash-nash lain seperti ini, maka metode dan manhaj Ahlu Sunnah wal Jama'ah adalah berpegang secara sempurna kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta sunnah para khulafaurrasyidun sesudahnya. Demikian itu karena mereka menegakkan agama dan tidak berselisih di dalamnya sebagai perwujudan dari firman Allah, "Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpeceh-belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepada mereka. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki- Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) ." (Asy-Syuura: 13).

Walaupun juga terjadi sedikit perbedaan di antara mereka karena di dalamnya ada ruang bagi mereka untuk berijtihad, tetapi perbedaan itu tidak menyebabkan adanya perbedaan hati mereka, bahkan kita dapati hati mereka menyatu dan saling mencintai, walaupun terjadi adanya perbedaan yang jalannya adalah ijtihad.

Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 14 - 15.

Banyak amal tetapi banyak dosa

Banyak amal tetapi banyak dosa

Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak sehingga akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Padahal jika seseorang meremehkan dosa-dosa, maka sungguh ia telah terpedaya oleh syaitan

Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak, mereka menganggap bahwa amalan-amalan shalih mereka sudah begitu melimpah sehingga pahala yang mereka kumpulkanpun sudah begitu menggunung. Mereka menganggap bahwa shalat malamnya, puasa senin kamisnya, haji dan umrahnya, infaqnya dan seterusnya dari amalan-amalan shalih yang mereka kerjakan akan seperti lautan yang akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Jika seseorang menganggap remeh suatu dosa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah terpedaya oleh syaitan, walaupun mereka telah banyak beramal dengan amalan-amalan ketaatan.

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Allah ta'ala memberikan permisalan tentang orang yang telah mengumpulkan banyak kebaikan akan tetapi nanti di akhirat, amalan kebaikan yang diandalkannya tidak dapat banyak bermanfaat, Allah berfirman

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

”Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS. Al-Baqarah:266)

Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma ketika menjelaskan ayat di atas, beliau mengilustrasikan dengan orang kaya yang beramal karena taat kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan padanya, lalu orang itu melakukan banyak kemaksiatan sehingga amal-amalnya terhapus (Tafsir Ibnu Katsier)

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Janganlah sekali-kali kita meremehkan dosa karena kita menganggap sudah mempunyai amal kebaikan yang banyak. Ketahuilah wahai saudaraku bahwa belum tentu amal kebaikan yang kita kerjakan dihitung sebagai amal shaleh di sisi Allah, apakah karena kita tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, amal kebaikan juga akan dapat terhapus dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Tsauban radhiaallahu'anhu meriwayatkan sebuah hadits yang dapat membuat orang-orang shalih susah tidur dan selalu mengkhawatirkan amal-amal mereka. Tsauban radhiaallahu'anhu berkata, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لأعلمن أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة بيضا فيجعلها الله هباء منثورا . قال ثوبان : يا رسول الله صفهم لنا جلهم لنا أن لا نكون منهم و نحن لا نعلم ، قال : أما إنهم إخوانكم و من جلدتكم و يأخذون من الليل كما تأخذون و لكنهم أقوام إذا خلو بمحارم الله انتهكوها

Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan, Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!, Beliau bersabda, Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)

Saudaraku, masihkah kita merasa bangga dengan amal-amal kita kemudian berbuat dosa dan menganggap bahwa dosa kita akan tenggelam dalam lautan amalan shalih kita.

Maka wajib bagi kita untuk senantiasa bersabar, bersabar dan bersabar. Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi dosa-dosa.

Semoga Allah merahmati Imam Ahmad yang mengatakan bahwa sabar adalah terus menerus sampai seseorang menapakkan kakinya di Surga kelak.

Ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah radhiallahu'anhu tentang makna takwa, Abu Hurairah kemudian bertanya kepada orang tersebut, Apakah engkau pernah melewati jalan yang berduri? Ia menjawab, Ya pernah. Abu Hurairah bertanya lagi, Apa yang engkau lakukan, Ia menjawab, Jika aku melihat duri maka aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya, Abu Hurairah berkata, Seperti itulah takwa

Maka bukanlah dikatakan takwa jika seseorang sengaja menerjang rambu-rambu syariat, mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.

Kemudian kita juga harus takut karena kita tidak tau kapan ajal akan menjemput! Kalau kita amati disekitar kita, maka kita dapati bahwa jumlah manula lebih sedikit daripada orang muda dan anak-anak, hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan manusia meninggal dalam usia muda, maka waspadalah!

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Terakhir saudaraku, hendaknya kita senantiasa bertakwa dan tidak meremehkan dosa-dosa agar kita tidak seperti yang digambarkan dalam ayat dan hadits di atas, semoga Allah menjadikan kita nanti, termasuk yang diseru dalam firman-Nya

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي

Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, Maka masuklah ke dalam Surga-Ku (Al-Fajr: 27-30)

Referensi
1. Tafsir Ibnu Katsier
2. Silsilatul Ahaadits Shahihah, Syaikh Al-Bany
3. Jami' ulumul wal hikam, Ibnu Rajab

Kapan sebuah hadits dikatakan sebagai hadits shahih?

Kita sering mendengar perkataan hadits itu shahih atau hadits ini dhaíf. Bagaimana sebuah hadits bisa disebut sebagai hadits yang shahih atau dhaíf?

Mari kita sama-sama belajar sedikit tentang hal ini, agar kita bisa memahami agama islam ini dengan baik dan juga agar kita tidak mudah tertipu oleh para penyeru kesesatan yang banyak mengkaburkan agama islam ini. Artikel berikut ini dinukil dari: http://www.perpustakaan-islam.com, sedikit menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan hadits yang shahih.

Hadits ada yang shahih dan ada yang daif. Kriteria apa saja sehingga sebuah hadits dapat dikatakan sebagai hadits yang shahih? Berikut ulasan singkat
Untuk mengetahui apakah sebuah hadits merupakan hadits shahih atau hadits daif diperlukan sebuah ilmu yang dikenal dengan ilmu mustholah hadits. Banyak kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama ahli hadits yang membahas tentang ilmu mustholah hadits ini.

Untuk menyederhanakan pembahasan agama, sering yang kita baca atau dengar dari sebuah hadits hanya matan/isi dari sebuah hadits, padahal sebenarnya para ulama ahli hadits meriwayatkan tidak hanya matan/isi akan tetapi juga sanad/periwayatan (urutan periwayatan hadits dari Rasulullah saw atau sahabat sampai kepada para ulama penulis hadits). Jadi dalam teks hadits yang lengkap terdiri dari 2 bagian:
  • Sanad/periwayatan
  • Matan/isi
Dr. Mahmud Thahan dalam kitab beliau, Taisir Musthalah Hadits menjelaskan sarat-sarat sebuah hadits dihukumi sebagai hadits shahih.
  • Sanadnya tersambung, artinya setiap rawi mengambil haditsnya secara langsung dari orang di atasnya, dari awal sanad hingga akhir sanad
  • Adilnya para perawi, yaitu setiap periwayat harus: muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak buruk tingkah lakunya
  • Dlabith, yaitu setiap rawi harus sempurna daya ingatnya, baik dalam hafalan atau catatan.
  • Tidak syadz, yaitu tidak menyilisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah
  • Tidak ada illat, yakni haditsnya tidak cacat.
Sebagai contoh, sebuah hadits dalam Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR. Bukhari, No 731)

Hadits diatas dihukumi sebagai hadits shahih karena:
  • Sanadnya tersambung, sebab masing-masing periwayat yang meriwayatkan telah mendengar haditsnya dari syaikhnya (gurunya). Sedangkan adanya 'an'anah yaitu Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jabir termasuk bersambung karena mereka bukan mudallis
  • Para periwayat hadits diatas semuanya adil dan dlabith. Kriteria mengenai mereka (para perawi hadits) telah ditentukan oleh para ulama Jarh wa Ta’dhil, yaitu:
    -Abdullah bin Yusuf: orangnya tsiqah (terpercaya) dan mutqin (cermat)
    -Malik bin Anas: Imam sekaligus hafidz
    -Ibnu Syihab Az-Zuhri: orangnya faqih, hafidz, disepakati tentang ketinggian kedudukan dan kecermatannya
    -Muhammad bin Jabir: tsiqah
    -Jabir bin Muth’im: sahabat
  • Tidak syad, karena tidak bertentangan dengan perawi yang lebih kuat
  • Tidak ada illat (cacat) dalam hadits diatas
Untuk mengetahui keadilan dan kedlabithan para perawi dengan cara meneliti biografi mereka. Para ulama telah menulis biografi para perawi dalam kitab yang banyak, diantara kitab-kitab yang memuat biografi para perawi hadits yaitu:
  • Tarikh Kabir, karya Imam Bukhari. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif
  • Al-Jarh wa ta’dhil karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah maupun yang dhaif
  • Al-Kamil fi Asmair Rijal karya Abdul Ghani. Kitab ini membahas perawi hadits yang terdapat dalam kitab Kutubus Sittah
  • Dan lain-lain

Ilmu Mustholah hadits hanya ada dalam agama Islam sehingga ajaran Islam dapat dijamin keasliannya secara ilmiah, alhamdulillah

Mudah-mudahan penjelasan ini tidak memuaskan sehingga pembaca semakin bersemangat untuk mengkaji lebih dalam

Referensi
Taisir Musthalahal Hadits, karya Dr. Mahmud Thahan
http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=2752