Kamis, 20 Agustus 2009

Kesempatan Untuk Berubah Di Bulan Ramadhan

Kesempatan Untuk Berubah Di Bulan Ramadhan

Ramadhan hampir tiba, tak terasa waktu berjalan dan berlalu hampir setahu dari ramadhan yang lalu. Bulan yang selalu ditunggu-tunggu karena kemuliaan dan keutamaannya. Bagaimana tidak?


Bulan ini adalah bulan pengampunan dan rahmat serta dimudahkan beramal shalih padanya. Lihat saja sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ – وَفِيْ رِوَايَةٍ : أَبْوَابُ الْجَنَّةِ- وَفِيْ رِوَايَةٍ: أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

“Apabila masuk bulan Ramadhan maka dibukalah pintu langit –dalam satu riwayat dikatakan: pintu surga dan dalam riwayat lainnya: pintu-pintu rahmat.- ditutup pintu-pintu jahannam dan para setan dibelenggu”. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hal ini ada sejak awal ramadhan sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Ibnu Majah yang berbunyi:

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ – وَفِيْ رِوَايَةٍ : أَبْوَابُ الْجَنَّةِ- وَفِيْ رِوَايَةٍ: إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ

“Apabila masuk awal malam dari bulan ramadhan maka para setan dan jin jahat dibelenggu dan ditutup pintu neraka jahannam”

Demikian juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang menghidupkan malam qadar dalam keadaan iman dan mencari pahala maka Allah ampuni dosanya yang telah lalu dan siapa yang berpuasa dalam keadaan iman dan mencari pahala maka Allah ampuni dosanya yang telah lalu” (HR al-Bukhari).

Kalau demikian hendaknya kita jadikan bulan ramadhan ini sebagai kesempatan untuk melihat keadaan kita dan berfikir tentang realita yang ada, agar kita dapat introspeksi dan memperbaiki yang telah rusak dan menerapi yang sakit.

Jadikanlah bulan ini sebagai awal menuju kebaikan dimasa mendatang dan titik tolak perubahan dari yang ada menuju yang lebih baik dan sempurna.

Seandainya setiap orang merenungi dirinya dan memperhatikan kehidupan dan kondisinya, tentulah ia mendapatkan dirinya memiliki banyak pikiran dan sifat-sifat individu serta prilaku tertentu.

Pertanyaan yang wajib disampaikan kepada diri kita adalah:

Apakah kita ridho dengan keadaan kita sekarang ini ataukah tidak?

Apakah ia menganggap telah mencapai keadaan yang lebih baik dan sempurna atau malahan dalam keadaan lemah dan jauh dari kesempurnaan?

Apakah semua fikiran, sifat dan prilaku yang telah kita lakukan adalah sesuatu yang tidak bisa berubah dan sudah menjadi kodratnya ataukah kita sebagai manusia memiliki usaha dan ikhtiar dalam merubahnya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terpendam di dalam jiwa kita untuk dicarikan kesempatan untuk dibedah dan diintrospeksi serta direnungkan.

Hal ini sangat dibutuhkan seseorang untuk maju dan berkembang kearah kebaikan, namun ironisnya kebanyakan orang tidak mau memberikan waktunya untuk merenung dan mengintrospeksi dirinya tersebut, karena dua hal:
Tenggelam dalam kesibukan mencari kehidupan.
Perenungan ini menuntut adanya kesiapan dan ketetapan perubahan yang banyak tidak diinginkan orang.

Upaya muhaasabah (introspeksi diri) sangat dianjurkan dalam syariat islam agar kita tidak tenggelam dalam kehidupan materi dan sibuk dengan kehidupan yang tiada batas. Anjuran ini diungkapkan khalifah Umar bin al-Khath-thab Radhiallahu’anhu dalam pernyataan beliau: “Muhasabah-lah terhadap dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbang-timbanglah sebelum kamu ditimbang”.

Demikian juga ungkapan khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu: “Alangkah perlunya seorang memiliki satu saat yang tidak disibukkan dengan kesibukan untuk introspeksi diri. Ia melihat apa yang dilakukannya berupa kebaikan dan keburukan diwaktu siang dan malamnya”.

Sebenarnya introspeksi diri ini memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui kesalahan dan titik kelemahan kita, lalu dapat mendorong kita menjadi lebih baik lagi. Hal ini disampaikan khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu: :Hasil dari introspeksi diri adalah perbaikan diri”.

Nah tidak ada satu bulan yang menandingi Ramadhan dalam masalah ini. Ramadhan adalah bulan terbaik dan pas untuk melakukan muhasabah. Bayangkan dibulan yang mulia ini kita-kita dilarang makan dan minum serta syahwat lainnya yang biasa kita lakukan keseharian. Hal-hal ini tentunya dapat menumbuhkan kesadaran dan memberikan kesempatan untuk perbaikan diri.

Demikian juga ibadah-ibadah yang ada pada bulan ini, seperti sholat malam adalah kesempatan untuk mendekat kepada Allah, membaca al-Qur`an yang dianjurkan dibulan ini akan membantu terciptanya suasana kondusif untuk perbaikan diri kita. Tapi hal ini bisa ada kalau dilakukan dengan tadabbur dalam membacanya dan memperhatikan isi kandungannya serta komitmen dengan perintah dan larangannya. Sehingga ketika membaca ia senantiasa mempertanyakan keadaannya dari kandungan ayat yang dibacanya.

Banyaknya berdoa dan ibadah dibulan ini tentunya memberikan pembinaan dan pendidikan ruhiyah kepada diri kita. Harapannya dengan melaksanakan amalan ibadah dibulan mulia ini kita semua bisa berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan ampunan ilahi.

Marilah kita gunakan kesempatan emas ini untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Siapa yang mau?

sumber: http://ustadzkholid.com/akhlaq/kesempatan-untuk-berubah-di-bulan-ramadhan/

Jumat, 14 Agustus 2009

BAGAIMANA SEORANG MUSLIM MELAKUKAN MANASIK HAJI DAN UMRAH

BAGAIMANA SEORANG MUSLIM MELAKUKAN MANASIK HAJI DAN UMRAH

Cara yang terbaik bagi seorang muslim untuk melakukan manasik haji dan umrah adalah dengan melaksanakan haji dan umrah tersebut sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah agar mendapatkan kecintaan dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'aala. Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang." (Ali Imron:31) Adapun bentuk haji yang paling sempurna adalah haji Tamattu' bagi orang-orang yang sebelumnya tidak membawa binatang qurban, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan (untuk bertahallul setelah selesai umrah) dan menegaskan kepada para sahabat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sabdanya: "Andaikata aku menghadapi urusanku (dalam haji) tentu aku tidak akan berpaling. Aku tidak akan membawa binatang qurban, dan tentu aku akan bertahallul bersama kalian." Haji tamattu'; adalah melaksanakan ibadah umrah secara sempurna pada bulan-bulan haji, dan bertahallul dari umrah tersebut, lalu berihram untuk haji pada tahun itu juga.

UMRAH

  1. Jika anda berihram untuk umrah, maka mandilah sebagaimana ketika mandi besar -bila hal itu memungkinkan- lalu pakailah pakaian ihram berupa kain dan selendang (bagi kaum wanita memakai pakaian apa saja yang tanpa berhias), kemudian bacalah:
لبيك عمرة، لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك.

    [Labbaika ‘umrotan, labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wanni'mata laka wal mulka laa syariika laka]

    "Aku sambut panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah. Aku sambut panggilanmu, ya Allah, aku sambut panggilanMu. Aku sambut panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku sambut panggilanMu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tiada sekutu bagiMu."

    Labbaik artinya ; aku sambut panggilanMu untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah.

  1. Jika sudah sampai di Makkah, lakukanlah thawaf umrah mengelilingi Ka'bah tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di Hajar Aswad. Lalu shalatlah dua raka'at di belakang Maqam Ibrahim, dekat dengan Maqam (kalau memungkinkan) atau jauh darinya.
  2. Setelah selesai shalat dua raka'at, pergilah ke Bukit Shafa untuk melakukan Sa'i umrah tujuh kali putaran, dimulai dari Bukit Shafa dan berakhir di Bukit Marwa.
  3. Setelah selesai Sa'i, pendekkanlah rambut kepala.
Dengan demikian, selesailah pelaksanaan ibadah Umrah, dan bukalah pakaian ihram anda lalu gantilah dengan pakaian biasa.

HAJI

  1. Pada pagi hari tanggal 8 Zulhijjah, berihramlah untuk haji dari tempat tinggal anda dengan mandi terlebih dahulu jika mungkin, lalu pakailah pakaian ihram kemudian ucapkanlah :
لبيك حجاًّ لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك.

    [Labbaika hajjan, labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika, innal hamda wanni'mata laka wal mulka laa syariika laka]

    "Aku sambut panggilanMu untuk menunaikan ibadah Haji. Aku sambut panggilanMu, ya Allah, aku sambut panggilanMu, aku sambut panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, aku sambut panggilanMu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tiada sekutu bagiMu."

  1. Kemudian pergilah ke Mina. Shalat Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh di sana dengan mengqashar shalat-shalat yang empat raka'at (masing-masing dilakukan pada waktunya tanpa jama' ta'khir dan jama' taqdim).
  2. Jika matahari telah terbit pada tanggal 9 Zulhijjah pergilah menuju Arafat, shalatlah Zuhur dan Ashar di Arafah dengan jama' taqdim dan qashar (dua raka'at, dua raka'at). Berdiamlah di Arafah sampai matahari terbenam dengan memperbanyak zikir dan do'a sambil menghadap Kiblat.
  3. Jika matahari terbenam, tinggalkanlah Arafah menuju Muzdalifah. Shalat Maghrib, Isya dan Shubuh di Muzdalifah, lalu berdiamlah di Muzdalifah untuk berdo'a dan zikir sampai mendekati terbitnya matahari. (Jika keadaan anda lemah, tidak mungkin berdesak-desakan saat melampar jumrah, maka diperbolehkan bagi anda untuk berangkat menuju Mina setelah pertengahan malam lalu melempar Jumrah Aqabah sebelum rombongan jemaah datang).
  4. Jika telah dekat terbitnya matahari, berjalanlah menuju Mina. Setelah sampai di Mina, lakukanlah hal-hal berikut :
    1. Melempar Jumrah Aqabah (yaitu jumrah yang paling dekat dengan Makkah) sebanyak tujuh kali lemparan batu kerikil secara beruntun satu persatu, dan bertakbirlah pada setiap kali lemparan.
    2. Menyembelih binatang qurban. Makanlah sebagian dagingnya dan bagikanlah kepada kaum fakir (menyembelih binatang qurban ini wajib bagi orang yang melakukan Haji Tamattu' atau Haji Qiran).
    3. Cukurlah dengan bersih rambut kepala anda atau pendekkanlah. Dan mencukur bersih lebih utama daripada sekedar memendekkannya (bagi kaum wanita cukup memotong sebagian rambut kepalanya sepanjang ujung jari).
    Tiga hal tersebut di atas -jika mungkin- dilakuan secara berurutan; dimulai dari melempar Jumrah Aqabah, lalu menyembelih binatang qurban, kemudian mencukur rambut. Tapi jika dilakukan tidak berurutan juga tidak ada masalah.

    Setelah melempar dan mencukur rambut, anda bertahallul awwal dan pakailah pakaian biasa. Pada saat ini anda diperbolehkan melakukan larangan-larangan ihram kecuali masalah wanita (yaitu jima' dengan isteri).

  1. Pergilah ke Makkah dan lakukanlah Thawaf Ifadah (Thawaf Haji) kemudian lakukan Sa'i Haji antara Shafa dan Marwa.Dengan demikian anda telah bertahallul tsani. Pada saat ini anda diperbolehkan melakukan segala larangan ihram sampai masalah wanita.Setelah Thawaf dan Sa'i kembalilah ke Mina untuk bermalam di Mina pada malam 11 dan 12 Zulhijjah.
  2. Kemudian lemparlah ketiga jumrah pada hari kesebelas dan kedua belas Zulhijjah setelah matahari tergelincir ke barat (ba'da zawal). [Ba'da zawal tidak berarti harus tepat setelah zhuhur, bisa juga pada sore hari dimana kerumunan dan desak-desakan manusia sudah berkurang]. Dimulai dari Jumrah Ula (Jumrah yang terjauh dari Makkah), lalu Jumrah Wustha kemudian Jumrah Aqabah. Setiap Jumrah dilempar dengan tujuh kali lemparan batu kerikil secara berurutan dengan bertakbir pada setiap kali lemparan batu. Setelah melempar Jumrah Ula begitu juga setelah melempar Jumrah Wustha, berdo'a kepada Allah Tabaaraka wa Ta'aala sambil menghadap kiblat. Melempar ketiga Jumrah pada dua hari ini tidak sah jika dilakukan sebelum matahari tergelincir (qabla zawal).
  3. Setelah selesai melempar ketiga Jumrah pada hari kedua belas Zulhijjah, jika ingin tergesa-gesa meninggalkan Mina maka tinggakanlah Mina sebelum matahari terbenam. Tetapi jika ingin tetap tinggal -dan itu lebih utama- bermalamlah sekali lagi di Mina pada malam ketiga belas Zulhijjah, lalu lemparlah ketiga Jumrah pada siang hari tanggal ketiga belas tersebut setelah matahari tergelincir (ba'da zawal) seperti yang anda lakukan pada tanggal kedua belas.
  4. Jika ingin kembali pulang ke negeri anda, lakukanlah Thawaf Wada' mengelilingi Ka'bah tujuh kali putaran menjelang perjalanan pulang anda. Bagi wanita yang sedang haid dan nifas tidak mempunyai kewajiban thawaf wada'.

LAIN-LAIN

Wajib bagi orang yang dalam keadaan berihram haji atau umrah untuk memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Konsisten melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'aala berupa syari'at agamaNya, seperti mendirikan shalat pada waktunya dengan berjama'ah.
  2. Menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'aala seperti rafast (perkataan cabul), perbuatan fasik dan maksiyat, sebagaimana firman Allah :
"Maka barangsiapa yang telah menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam (masa mengerjakan) haji." (Al-Baqarah 197).

  1. Menjauhkan diri dari perbuatan atau ucapan yang bisa menyakiti sesama orang Islam di tempat-tempat suci maupun di tempat lain.
  2. Menjauhkan diri dari segala larangan ihram :
    1. Tidak mencabut sesuatupun dari rambut atau kuku. Adapun mencabut duri atau semisalnya maka tidak apa-apa, sekalipun keluar darah.
    2. Tidak memakai wangi-wangian di badan, pakaian, makanan dan minumannya setelah berihram. Tidak pula memakai sabun yang berparfum. Sedang wangi-wangian yang dipakai sesaat sebelum berihram maka hal itu tidak apa-apa.
    3. Tidak membunuh binatang buruan, yaitu binatang darat yang halal dan pada dasarnya liar.
    4. Tidak berhubungan dengan wanita karena nafsu syahwat, baik dengan sentuhan, ciuman atau yang lain atau yang lebih dari itu, yaitu bersetubuh.
    5. Tidak melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Tidak pula meminang seorang wanita untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
    6. Tidak memakai kaos tangan. Kalau sekedar membalut tangan dengan sehelai kain maka hal itu tidak apa-apa.
Hal-hal tersebut adalah larangan-larangan ihram yang berlaku bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Adapun larangan ihram yang khusus untuk kaum laki-laki adalah :

  1. Tidak menutupi kepalanya dengan barang yang menempel di kepala. Kalau sekedar memayungi kepalanya dengan payung, atap mobil, kemah, dan membawa barang di kepalanya, hal itu tidak apa-apa.
  2. Tidak memakai baju, surban, topi, celana, dan sepatu, kecuali jika memang benar-benar tidak mendapatkan sandal lalu memakai sepatu.
  3. Tidak memakai hal-hal yang semakna dengan hal-hal tersebut di atas, tidak memakai mantel dan sejenisnya, kopiah, kaos dalam/singlet dan sejenisnya.
Diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk memakai sandal, cincin, kacamata, alat bantu pendengaran, jam tangan atau jam yang dikalungkan di lehernya, dan sabuk besar untuk menyimpan bekalnya.

Diperbolehkan pula untuk membersihkan diri dengan tidak memakai wangi-wangian juga diperbolehkan mencuci dan menggaruk kepala dan badannya. Jika kemudian, karena hal itu, rambut terjatuh tanpa disengaja maka hal itu tidak apa-apa.

Adapun bagi kaum wanita dilarang memakai niqab dan burqu' (sejenis tutup muka). Sesuai dengan sunnah, seorang wanita hendaknya membuka wajahnya, kecuali memang dilihat orang laki-laki yang bukan mahramnya maka wajib baginya untuk menutup wajahnya di saat ihram maupun di luar ihram.

Allah Subhanahu wa Ta'aala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada keluarga dan para sahabatnya.

dinukil dari: http://dareliman.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=98&Itemid=67

TAYAMUM

TAYAMUM

Pada rubrik fiqih yang lalu, telah dibahas tentang sifat wudhu' Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan pembatal wudhu'. Hal itu sudah diterangkan dengan jelas dan gamblang, sehingga seseorang telah mampu untuk mengetahui dan mengoreksi kesalahan cara wudhu' nya selama ini. Hukum asal dalam bersuci adalah memakai air, maka bersuci dari hadats kecil dengan berwudhu'. Adapun bersuci dari hadats besar dengan cara mandi besar. Seseorang tidak boleh meninggalkan air dalam bersuci kecuali memiliki udzur atau alasan yang syar'i. Ketika seseorang yang berhadats tidak mampu memakai air untuk bersuci, maka diperintahkan baginya untuk bertayamum sebagai pengganti berwudhu'. Dalam buletin ini penulis akan membahas perihal sekitar tayamum; pengertian tayamum serta argumen yang mensyariatkan tayamum, penyebabnya, cara, dan hal-hal yang membatalkan tayamum.
Definisi tayamum

Tayamum secara bahasa berasal dari kata: tayammama - yatayammamu, artinya: al-Qashd (bermaksud atau pindah). Secara terminologi tayamum adalah bermaksud atau pindah ke tanah untuk menyapukannya ke wajah dan kedua tangan dengan niat dibolehkan untuk mengerjakan shalat dan lainnya.

Dasar disyariatkan tayamum

Allah Subhanahu wa Ta'aala berfirman dalam surat al-Maidah, yang artinya: "Siapa yang sakit, atau musafir atau salah seorang darimu datang dari WC atau kamu berhubungan dengan istri dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Maidah/5: 6).

Adapun dalil dari sunnah, hadits dari riwayat Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Allah telah jadikan semua permukaan bumi untukku dan ummatku sebagai mesjid (tempat shalat) dan alat yang mensucikan, dimanapun seorang umatku mendapatkan waktu shalat, maka ia memiliki alat untuk bersuci." (HR. Ahmad)

Kaum muslimin telah sepakat (ijma') bahwa tayamum itu disyari'atkan sebagai pengganti wudhu' dan mandi besar pada kondisi khusus.

Faktor yang membolehkan bertayamum

Faktor-faktor yang membolehkan seseorang bertayamum sangat perlu diketahui dan diperhatikan, karena sangat mempengaruhi keabsahan (syahnya) ibadah. Kalau diperhatikan sikap sebagian kaum muslimin dalam bertayamum, akan ditemukan sikap-sikap acuh, dan remeh serta menyepelekan ketentuan-ketentuannya. Ada orang yang bertayamum karena takut antri yang panjang di kamar mandi, sementara shalat telah ditegakkan, ia mengambil jalur yang ringkas dengan bertayamum saja. Hal ini banyak dilakukan oleh jamaah haji Indonesia di masjidil haram atau mesjid nabawi. Penulis akan mencantumkan faktor penyebab dibolehkannya bertayamum. Semua sebab-sebab ini kembali kepada satu masalah yaitu: ketidakmampuan memakai air. Adapun rinciannya sebagai berikut:

  1. Jika tidak mendapatkan air, ataupun ada, namun tidak mencukupi untuk bersuci. Berdasarkan hadits Imran ibn Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam satu perjalanan, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat mengimami manusia. Seketika itu, ada seorang laki-laki memisahkan diri, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: "Apa yang menghalangimu untuk shalat?" Ia menjawab: aku dalam kondisi junub, dan air tidak ada. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Bersucilah dengan tanah, karena itu telah mencukupkanmu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun sebelum bertayamum, ia harus berusaha mencari air dari temannya, di sekeliling tempat tinggalnya, atau dari sumber air yang lebih dekat dengannya. Jika dia yakin air tidak ada, atau sumber air yang iauh, maka tidaklah perlu untuk mencarinya. Dengan demikian barulah ia dibolehkan bertayamum.

  1. Jika sakit atau luka dan ia khawatir jika memakai air akan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhan, baik hal itu diketahui berdasarkan pengalaman, atau informasi dari dokter yang dipercaya.
  2. Jika air sangat dingin dan besar kemungkinan akan mencelakakannya bilamana ia tetap memakai air, dengan syarat ia tidak mampu memanaskan air walaupun harus membayar dengan uang, atau tidak mungkin masuk ke kamar mandi.
  3. Jika air itu dekat dari dirinya, namun ia khawatir terhadap dirinya, atau kehormatan dan hartanya. Atau ia khawatir kehilangan teman, atau antara ia dan air dihalangi oleh musuh yang ditakutinya. Atau ia terpenjara, atau ia tidak mampu mengeluarkan air (dari sumur), karena tidak memilik alatnya seperti tali atau ember. Maka walaupun air dekat dari dirinya, namun keberadaan air dalam kondisi ini sama dengan tidak ada air, karena ia tidak bisa menggunakan air tersebut.
  4. Jika ia membutuhkan air pada waktu itu, atau waktu yang akan datang, untuk keperluan minumnya sendiri atau minuman orang yang lain, atau diperlukan untuk memasak, atau untuk membersihkan najis, maka ia boleh bertayamum dan air yang dimilikinya disimpan dengan baik untuk keperluan yang disebutkan tadi. Seperti orang yang memiliki air yang terbatas, kalau ia gunakan untuk berwudhu' dikhawatirkan ia akan mati kehausan.
  5. Jika ia mampu memakai air, namun dikhawatirkan waktu shalat habis disebabkan oleh waktu yang terpakai dalam memakai air dengan berwudhu' atau mandi, maka ia bertayamum dan melakukan shalat kemudian ia tidak perlu mengulang kembali wudhu' atau shalatnya. Hal ini berbeda dengan orang yang bertayamum karena khawatir ketinggalan shalat berjamaah -seperti yang dilakukan oleh kebanyakan jamaah haji Indonesia- sementara waktu shalat masih panjang. Maka hal ini tidak boleh bertayamum, namun ia harus pergi berwudhu' dengan sempurna.

Bahan untuk bertayamum

Dalam al-Quran dikatakan bahwa alat bertayamum itu adalah al-sha'id. Di dalam kitab Lisan Al-'Arab dikatakan bahwa al-sha'id itu artinya bumi, atau bumi yang baik. Ada yang mengatakan tanah yang baik. Abu Ishaq mengatakan: Al-Sha'id adalah permukaan bumi, maka diwajibkan kepada orang yang mau bertayamum untuk memukulkan kedua tangannya ke permukaan bumi, tanpa menghiraukan apakah di permukaan bumi itu ada tanah atau tidak, karena al-shaid itu bukan tanah, tetapi artinya permukaan bumi, baik di permukaan bumi itu ada tanah atau tidak. Kalau seandainya permukaan bumi itu semuanya batu, dan tidak ada debu atau tanah di atasnya, lalu orang yang melakukan tayamum dengan memukulkan tangannya ke atas batu tersebut, maka hal itu sudah dikatakan bersuci jika ia sapukan ke wajah dan (ke tangan) nya.

Tata cara bertayamum

Orang yang ingin bertayamum hendaklah dimulai dengan niat di dalam hatinya namun tidak dilafazkan, bahwa dia akan bertayamum untuk menghilangkan hadats. Kemudian ia membaca bismillah, lalu ia pukulkan kedua tangannya ke atas tanah yang suci lalu ia sapukan ke wajahnya dan kedua tangannya sampai dengan pergelangan tangan. Pukulan dilakukan hanya sekali untuk penyapuan wajah dan kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan.

Dalilnya adalah hadits Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu mengatakan: "Aku dalam kondisi junub, dan aku tidak mendapatkan air, lalu aku berguling-guling di atas tanah, lalu aku shalat. Maka aku sebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Sebenarnya cukup bagimu untuk melakukan seperti ini, lantas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memukulkan kedua tangannya ke atas tanah, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meniup kedua tangannya kemudian ia sapukan ke wajah dan kedua tangannya." (HR. Bukhari Muslim)

Yang Membatalkan Tayamum

Tayamum batal disebabkan oleh faktor-faktor yang membatalkan wudhu' sebagaimana yang telah dibahas pada buletin vol. 12 tahun ke-3/1430H dengan topik Pembatal Wudhu', yaitu: sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur dan kemaluan), tidur nyenyak yang menghilangkan kesadaran, hilang akan disebabkan oleh mabuk atau sakit, menyentuh kemaluan tanpa alas jika diiringi dengan syahwat, makan daging onta.

Tayamum juga batal jika air didapatkan bagi orang yang bertayamum disebabkan tidak menemukan air, atau mampu memakai air bagi orang yang bertayamum karena tidak mampu memakai air. Namun jika ia shalat dengan bertayamum, kemudian setelah shalat dia mendapatkan air, atau mampu memakai air, maka shalatnya tidak perlu diulang walaupun waktu shalatnya masih tersisa.

Dari Abi Sa'id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada dua orang yang mengadakan perjalanan, lalu waktu shalat masuk, sementara mereka tidak memiliki air, lantas mereka bertayamum dengan tanah, lalu mengerjakan shalat. Kemudian mereka mendapatkan air pada saat waktu shalat masih tersisa, maka salah seorang dari mereka mengulangi wudhu'nya lantas shalat, dan yang lain tidak mengulangnya. Kemudian mereka berdua mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan kejadiannya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi; "Anda telah menepati sunnah, dan shalatmu sudah sah, lalu berkata kepada yang berwudhu' dan mengulangi shalat: Anda mendapatkan pahala dua kali". (HR. Abu Dawud).

Bertayamum dengan dinding

Bertayamum dengan dinding dibolehkan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Aku pergi bersama Abdullah Ibnu Yasar, maula Maimunah istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai kami mendatangi Abi Juhaim Ibn al-Harits Ibn Al-Shammah al-Anshoriy radhiyallahu ‘anhu , maka Abu al-Juhaim radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dari sumur Jamal, lalu seorang berpapasan dengan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memberikan salam, namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menjawabnya sampai beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap dinding, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyapu wajah dan kedua tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam." (Muttafuqun 'Alaihi)

Syeikh al-Albani rahimahullah mengatakan: "Dibolehkan bertayamum dengan dinding, baik dinding itu dari tanah atau batu (tembok), baik diberi cat minyak atau tidak, lalu beliau menuturkan firman Allah Subhanahu wa Ta'aala, yang artinya: "Robbmu tidak pernah lupa".

Beberapa kesalahan dan kekeliruan dalam bertayamum

  1. Terlalu mempermudah urusan bersuci yaitu mengganti wudhu' dengan bertayamum. Kadang-kadang karena gara-gara sakit sedikit atau tangannya luka lalu ia bertayamum.
  2. Memukulkan tangan ke tanah dua kali, yang pertama untuk wajah, dan kedua untuk tangan. Namun yang benar itu adalah hanya dengan satu kali pukulan. Sebagaimana riwayat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu dalam shahih al-Bukhari.
  3. Menyapu kedua tangan sampai ke siku, karena mencontoh perbuatan dalam wudhu'. Ini adalah keliru, yang benar adalah menyapu kedua tangan hanya telapak tangan, dan punggung telapak tangan sampai ke pergelangan tangan, inilah yang dinamakan kaffun.


Wallahu a 'lam.

Muhammad Elvi Syam, Lc
sumber: http://dareliman.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=129&Itemid=1

Selasa, 11 Agustus 2009

Syaikh Bin Baz rahimahullah dan Seorang Pencuri

Syaikh Bin Baz rahimahullah dan Seorang Pencuri

Salah seorang murid Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menceritakan kisah ini kepada-ku (penulis kisah ini-pen). Dia berkata : Pada salah satu kajian Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah di Masjidil Haram, salah seorang murid beliau bertanya tentang sebuah masalah yang didalamnya ada syubhat, serta pendapat dari Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah tersebut. maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh Bin Baz rahimahullah. Ditengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang laki-laki dengan jarak kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air mata dengan deras, dan suara tangisannya pun keras hingga para murid pun mengetahuinya.

Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari kajian, dan majelis sudah sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis. Ternyata dia dalam keadaan sedih, dan bersamanya sebuah mushhaf. Aku pun lebih mendekat hingga kemudian aku bertanya kepadanya setelah kuucapkan salam: “Bagaiman kabarmu wahai akhi (saudaraku), apa yang membuatmu menangis ?”

Maka ia menjawab dengan bahasa yang mengharukan, “Jazakallahu khairan.” Akupun mengulangi sekali lagi, “Apa yang membuatmu menangis akhi…?”
Dia pun menjawab dengan tekanan suara yang haru, “Tidak apa-apa, sungguh aku telah ingat Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka aku pun menangis.”
Kini menjadi jelas bagiku dari penuturannya bahwa dia dari Pakistan, sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.

Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah kisah bersama Syaikh Bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku bekerja sebagai satpam pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu ketika datang sebuah surat dari Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku dalam keadaan kritis, yang mengharuskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal. Biaya operasi tersebut membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5 juta Rupiah). Jika tidak segera dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi dia akan meninggal. Sedangkan beliau sudah berusia lanjut.

Saat itu, aku tidak memiliki uang selain seribu Riyal, dan aku tidak mendapati orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka aku pun meminta kepada perusahaan untuk memberiku pinjaman. Mereka menolak. Aku menangis sepanjang hari. Dia adalah ibu yang telah merawatku, dan tidak tidur karena aku.

Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk mencuri pada salah satu rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua malam. Beberapa saat setelah aku melompati pagar rumah, aku tidak merasakan apa-apa kecuali para polisi tengah menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka. Setelah itu dunia pun tersa menjadi gelap.

Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi mengembalikanku ke rumah yang telah kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghidangkan makanan seraya berkata, “Makanlah, dengan membaca bismillah !” Aku pun tidak mempercayai yang tengah kualami.

Saat adzan shalat subuh, mereka berkata kepadaku, “Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih menyelimutiku. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah seorang pemuda masuk menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan mengucapkan salam kepadaku seraya berkata, “Apakah engkau sudah makan ?” Aku pun, ‘Ya, sudah.’ Kemudian dia memegang tangan kananku dan membawaku ke masjid bersamanya. Kami shalat subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang memegang tanganku tadi duduk diatas kursi di bagian depan masjid, sementara banyak jama’ah shalat dan banyak murid mengitarinya.

Kemudian Syaikh tersebut memulai berbicara menyampaikan sebuah kajian kepada mereka. Maka aku pun meletakkan tanganku diatas kepalaku karena malu dan taku.

Ya Allaaah…, apa yang telah kulakukan ? aku telah mencuri di rumah Syaikh Bin Baz ?!
Sebelumya aku telah mendengar nama beliau, dan beliau telah terkenal di negeri kami, Pakistan.
Setelah Syaikh Bin Baz rahimahullah selesai dari kajian, mereka membawaku ke rumah sekali lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan pagi dengan dihadiri oleh banyak pemuda. Syaikh mendudukkanku di sisi beliau. ditengah makan beliau bertanya kepadaku, “Siapakah namamu ?” Kujawab, “Murtadho.”

Beliau bertanya lagi, “Mengapa engkau mencuri ?” Maka aku ceritakan kisah ibuku. Beliau berkata, “Baik, kami akan memberimu 9000 (sembilan ribu) Riyal.” Aku berkata kepada beliau, “Yang dibutuhkan hanya 7000 (tujuh ribu) Riyal.” Beliau menjawab, “Sisanya untukmu, tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”

Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada beliau dan berdo’a untuk beliau. aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi untuk ibu. Alhamdulillah, beliau sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan Syaikh Bin Baz rahimahullah. Aku pergi kerumah beliau. aku mengenali beliau dan beliau pun mengenaliku. .
Kemudian beliau pun bertanya tentang ibuku. Aku berikan 1500 (seribu lima ratus) Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa ini ?” Kujawab, “Itu sisanya.” Maka beliau berkata, “Ini untukmu.”

Ku katakan, “Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan kepada anda.” Maka beliau menjawab, “Apa itu wahai anakku ?” kujawab, “Aku ingin bekerja pada anda sebagai pembantu atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh, janganlah menolak permohonan saya, mudah-mudahan Allah menjaga anda.” Maka beliau menjawab, “Baiklah.” Aku pun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau rahimahullah.

Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh, salah seorang pemuda yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku ketika aku melompat kerumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia berkata, “Sesungguhnya ketika engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh Bin Baz saat itu sedang shalat malam, dan beliau mendengar sebuah suara di luar rumah. Maka beliau menekan bel yang beliau gunakan untuk membangunkan keluarga untuk shalat fardhu saja. Maka mereka terbangun semua sebelum waktunya. Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau memberi tahu bahwa beliau telah mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi tahu salah seorang penjaga keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang dengan segera dan menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya, ‘Kabar apa ?’ Mereka menjawab, ‘Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah menangkap dan membawa ke kepolisian.’ Maka Syaikh pun berkata sambil marah, ‘Tidak, tidak, hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia orang yang membutuhkan’.”

Maka di sinilah kisah tersebut berakhir. Aku katakan kepada pemuda tersebut, “Sungguh matahari sudah terbit, seluruh umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan dengan beliau rahimahullah. Berdirilah sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdo’a untuk Syaikh rahimahullah.” Mudah-mudahan Allah Ta’ala merahmati Syaikh Bin Baz dab Syaikh Ibnu Utsaimin, dan menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin…(penulis kisah ini : Mamduh Farhan al Buhairi).

Sumber : dinukil dari Majalah Qiblati edisi 02 tahun III bulan November 2007 M / Syawwal 1428 H. (hal : 96)