Sabtu, 31 Mei 2008

SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR

Oleh
Abdullah Shaleh Al-Hadrami


MAKNA DAN HUKUM QASHAR.
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.[1]

Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para ulama).[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa': 101]

Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut.[3]

"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar"[4]

"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."[Al-Ahzaab : 21][6]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]

JARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR.
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas.[8]

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.[9]

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.

Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at"[11]

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir ¡Vradhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar shalat.[12]

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat.[13]

Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan meng-qashar shalat.[14]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15]

SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat delapan raka¡¦at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21][17]

Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]

JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]

Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.[20]

Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan."[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.[26]

MENJAMA'JUM'AT DENGAN ASHAR.
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.[27]

Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]

Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama¡¦ (menggabungnya) dengan shalat lain.[29]

JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31]Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[32]Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja.[33]

MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.
Shalat berjama¡¦ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasalla”¨[34]

MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36]

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]

SHALAT JUM'AT BAGI MUSAFIR.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39]. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"

Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya.[41]

Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat.

[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Abdullah Shaleh Al-Hadrami, beliau adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota Malang, Jawa Timur]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.
[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138
[11]. HR. Bukhari, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.
[13] HR. Bukhari dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhari dan Muslim.
[17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216

Diambil dari : www.almanhaj.or.id

Jumat, 30 Mei 2008

Subhanallah..Dia Mencium Bau Surga


Berikut ini ada kisah menarik yang menggetarkan hati dan membuat mata berlinang bagi yang merindukan akan nikmatnya surga. Sebuah kisah pemuda shaleh di zaman ini, yang diakhir hayatnya menunjukan akhir hidup yang baek (khusnul khatimah). Kalimat terakhir dalam hidupnya adalah ucapan Laa ilaaha illallaah.
“Barangsiapa yang akhir ucapan hidupnya Laa ilaaha illallaah maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud (3116) Ahmad (5/233,247) Al Haakim (1/351,500) dari hadits Mu’adz bin Jabal. Al Haakim menilainya shahih dan Adz Dzahabi menyetujuinya. Al Albani menilainya hasan di dalam Irwa’ul Ghalil (3/150)). (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 35)
Akhir hidup yang baik atau sebaliknya ditentukan dengan keadaan akhir amalannya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam riwayat dari Sahl bin Said:

إنما الأعمال بالخواتيم.

“Sesungguhnya segala amal itu tergantung dengan akhirnya.”

Semoga kisah ini dapat menjadi tauladan bagi kita semua sebagai seorang muslim. Kami ambil kisah ini dari website: http://jilbab.or.id/. Selamat mengikuti.

Dia Mencium Bau Surga

Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah rhodiyallaahu ‘anhu, Rasululllah shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “ Ada tujuh golongan orang yang mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya… diantaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”

Dan di dalam sebuah hadits shohih yang berasal dari Anas bin an-Nadhr rhodiyallaahu ‘anhu, ketika perang Uhud ia berkata,”Wah …. angin surga, sunguh aku telah mencium wangi surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”

Seorang Doktor bercerita kepadaku, “ Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal - semoga Allah merahmatinya -. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?

Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya –semoga Allah membalas segala kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh.

Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel ? Atau apa?

Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka,

‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal … tenanglah … sesungguhnya aku mencium wangi surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan para dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, maka janganlah kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium wangi surga.’

Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta subhanahu wa ta’ala.

Allahu Akbar … apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku komentari…Semua kalimat tidak mampu terucap … dan pena telah kering di tangan… Aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “ Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat.” (Ibrahim : 27)

Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.

Ia melanjutkan kisahnya,

“Mereka membawa jenazah pemuda tersebut untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat pemandian mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Magrib pada hari yang sama.

  1. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullaah Shallallaahu ‘alahi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat”. Ini merupakan tanda-tanda khusnul khatimah.
  2. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Pada tubuh orang yang sudah meninggal itu (biasanya-red) dingin, kering dan kaku.
  3. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.

Subhanalllah … Sungguh indah kematian seperti itu. Kita memohon semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugrahkan kita khusnul khatimah.

Saudara-saudara tercinta … kisah belum selesai…

Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabnya?

Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya?

Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang terlarang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan husnul khatimah (insyaAllah –red) yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-ngidamkann ya; meninggal dengan mencium wangi surga.

Ayahnya berkata, “Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjama’ah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU.”

Aku katakan, “Maha benar Allah” yang berfirman (yang artinya-red)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fhushilat:30- 32)

Diambil dari : Serial Kisah Teladan Karya Muhammad bin Shalih Al-Qahthani, sebagaimana yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir.

Sumber : Majalah elfata hal 65-67 edisi 06 volume 07 tahun 2007 dengan sedikit perubahan redaksi.


Kamis, 29 Mei 2008

DAUROH MASYAIKH MADINAH

DAUROH MASYAIKH MADINAH

Kami mendapat informasi dari web blog: http://abusalma.wordpress.com/post/, akan adanya daurah para syaikh dari Madinah, Saudi Arabia. Semoga penyebaran informasi ini bermanfaat bagi kita semua yang ingin mendapatkan faidah dari kedatangan mereka. Berikut ini informasinya.


STAI Ali Bin Abi Thalib insya Alloh pada DAUROH SYAR’IYYAH FI MASA’ILIL AQODIYYAH WAL MANHAJIYYAH IX akan menghadirkan 4 masyaikh Madinah. Para ulama yang dijadwalkan akan menghadiri dauroh ini adalah :

  1. Al-‘Allamah asy-Syaikh Shalih bin Sa’d as-Suhaimi
  2. Fadhilatu asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili
  3. Fadhilatu asy-Syaikh Sulaiman bin Salimullah ar-Ruhaili
  4. Fadhilatu asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Ahmadi

Acara ini insya Alloh akan diselenggarakan di Blessing Hill – Trawas – Mojokerto pada tanggal 6-12 Juli 2008.

Masyaikh juga dijadwalkan akan memberikan ceramah di beberapa kota besar,seperti Jakarta, Medan dan lainnya.

Informasi lebih lanjut akan kami informasikan insya Alloh

Kajian ini juga akan disiarkan online via Yahoo Messenger dan Paltalk –biidznillah-

Rabu, 28 Mei 2008

Menjawab Kerancuan Berfikir Para Pengagung dan Penyembah Kuburan (bag. 3)


Jawaban Telak Atas Quburiyyun (3)

10. Syubhat Kesepuluh

“Perkataan Bani Isra’il kepada Musa (Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!) dan perkataan sebagian sahabat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Buatkanlah Dzata Anwath bagi kami sebagaimana yang mereka miliki’, tidak membuat sahabat dan Bani Isra’il dikafirkan.”

Jawaban:

Sesungguhnya para sahabat dan Bani Isra’il tidak melakukan yang mereka katakan itu ketika para rasul mengingkarinya. Tidak ada perselisihan jika sekiranya Bani Isra’il melakukan yang mereka katakan tersebut maka mereka telah kafir, dan demikian pula mereka yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika mereka tidak menaati beliau dan membuat Dzata Anwath setelah beliau melarang maka mereka itu kafir.

11. Syubhat Kesebelas

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Usamah yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa ilaha illallah.”(HR. Bukhari dan Muslim), dan demikian pula sabda Beliau: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan “Laa ilaha illallah.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman (25), Muslim dalam Kitab Al Iman (22,23)), dan hadits-hadits lain yang melarang memerangi orang yang mengatakannya.”

Jawaban:

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi dan menawan kaum Yahudi sedangkan mereka mengucapkan “Laa ilaha illallah.” Sesungguhnya para sahabat telah memerangi Bani Hanifah sedangkan mereka bersaksi “Laa ilaha illallah” dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka sholat dan mengaku sebagai bagian dari kaum muslimin. Sesungguhnya orang-orang yang dibakar oleh Ali ibn Abi Thalib bersyahadat “Laa ilaha illallah.”

Barang siapa mengingkari hari kebangkitan adalah kafir dan dibunuh, walau mengucapkan “Laa ilaha illallah.” Sesungguhnya barang siapa yang menentang salah satu rukun Islam maka dia kafir dan dibunuh, walau dia mengucapkannya.

Maka bagaimana bisa kalimat “Laa ilaha illallah” tidak bermanfaat baginya apabila dia menentang salah satu furu’, kemudian kalimat itu itu bermanfaat baginya sehingga tidak dikafirkan tatkala dia menentang tauhid yang merupakan pokok dan inti agama para rasul?!

Adapun Usamah yang membunuh seseorang yang mengucapkan “Laa ilaha illallah”, tatkala dia berhadapan dengannya. Orang itu sebelumnya adalah seorang musyrik kemudian mengucapkan “Laa ilaha illallah”, maka Usamah membunuhnya karena mengira orang tersebut tidak ikhlas dalam mengucapkannya untuk menyelamatkan diri. Jadi tidak ada dalil yang menyatakan semua orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” adalah seorang muslim yang terjaga darahnya, akan tetapi yang ada adalah dalil wajibnya menahan diri dari orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah”, kemudian setelah itu keadaan orang tersebut dilihat apakah pengakuannya benar atau tidak. Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (QS. An Nisaa: 94)

Artinya pastikan terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan jika telah jelas perkara tersebut menyelisihi zhahirnya, maka wajib melakukan tindakan sesuai dengan senyatanya orang tersebut. Apabila dengan jelas orang tersebut melakukan sesuatu yang menyelisihi Islam (baca: tauhid) maka orang tersebut boleh dibunuh. Oleh karena itu sekiranya semua orang yang mengucapkannya (kalimat “Laa ilaha illallah”) tidak diperangi/dibunuh secara mutlak, maka perintah untuk “memastikan” dalam ayat tersebut tidak memiliki faedah.

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah”, makna hadits ini adalah barang siapa yang menampakkan keislaman maka tidak boleh diganggu sampai diketahui apakah orang tersebut bersungguh-sungguh berislam ataukah tidak, Allah ta’ala berfirman, “…maka telitilah.”

Perintah meneliti terlebih dahulu dibutuhkan tatkala seseorang dalam keraguan tentang suatu perkara. Jika orang yang hanya mengucapkan “Laa ilaha illallah” terlindungi sehingga tidak boleh diperangi/dibunuh, maka tentunya tidak diperlukan sikap tabayyun (meneliti terlebih dahulu).

Sesungguhnya orang yang mengatakan kepada Usamah (Yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent), “Apakah engkau membunuhnya sesudah dia mengucapkan Laa ilaha illAllah?!”, dan yang mengatakan, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilah illallah dan Muhammad adalah utusan Allah”, …adalah orang yang memerintahkan untuk membunuh/memerangi kaum Khawarij dan bersabda,

أينما لقيتموهم فاقتلوهم

“Di manapun kalian menemui mereka, maka bunuhlah mereka!” (HR. Bukhari (6930 dan 6931) dan Muslim (1066) dari Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu)

Padahal kaum Khawarij ini menegakkan shalat, berzikir kepada Allah, membaca Al Quran dan belajar kepada para sahabat rodhiallahu ‘anhum akan tetapi semuanya itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikit pun, karena keimanan tidak menghujam dalam hati mereka sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنه لا يجاوز حناجرهم

“Sesungguhnya (bacaan Al Quran mereka) itu tidak melewati kerongkongan-kerongkongan mereka (sehingga menetap dalam hati).” (HR. Bukhari (8/67, 10/552, 13/415-416, 535- Fath), Muslim (7/169, 171-173, 174-Nawawi)

12. Syubhat Kedua belas

“Sesungguhnya manusia pada hari kiamat kelak akan beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Adam, kemudian kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan mereka semua tidak mampu melakukannya, kemudian terakhir mereka beristighotsah pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal ini menunjukkan istighotsah kepada selain Allah bukanlah suatu kesyirikan.”

Jawaban:

Kami tidak mengingkari istighatsah kepada makhluk dalam perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam kisah Musa,

فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ

“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang menjadi musuhnya.” (QS. Al Qashash: 15)

Sebenarnya mereka tidak meminta pertolongan kepada para nabi untuk menghilangkan kesusahan mereka, akan tetapi mereka meminta pertolongan kepada Allah melalui mereka agar Allah menghilangkan kesulitan mereka. Terdapat perbedaan antara orang yang meminta pertolongan kepada makhluk agar mereka menghilangkan bahaya dan keburukan, dengan orang yang meminta kepada Allah agar menghilangkan kesulitan ini melalui mereka. Meminta pertolongan kepada Allah melalui makhluk boleh, sebagaimana para sahabat yang meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa kepada Allah bagi mereka tatkala Beliau masih hidup. Adapun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal ini terlarang dan mereka sama sekali tidak pernah meminta hal itu kepada Beliau di samping kubur Beliau, bahkan para salafush shalih mengingkari orang yang bersengaja berdoa kepada Allah di samping kubur Beliau, maka bagaimana dengan berdoa kepada diri Beliau?

Tidak mengapa engkau mendatangi seorang yang shalih yang engkau mengenal diri dan keshalihannya, kemudian engkau memintanya untuk berdoa kepada Allah bagimu. Hal ini adalah boleh, namun tidak sepatutnya menganggap hal ini sebagai bagian dari agama (dalam artian) setiap kali melihat orang shalih, (maka) dia berkata “Berdoalah kepada Allah bagiku!” Hal ini bukanlah termasuk perilaku para pendahulu kita (sahabat) rodhiallahu ‘anhum, dan perbuatan itu merupakan sikap berpangku tangan. Apabila seseorang berdoa sendiri kepada Robbnya, itu merupakan kebaikan baginya karena dia melakukan ibadah yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla.

13. Syubhat Ketiga belas

“Sesungguhnya dalam kisah Ibrahim ‘alaihish shalatu wa salaam, ketika beliau dilemparkan ke dalam api, Jibril menawarkan kepada beliau bantuan dan berkata, ‘Apakah engkau butuh bantuan?’ Maka Ibrahim berkata, ‘Adapun kepadamu, (aku) tidak (memerlukan bantuan).’” (HR. Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tafsir-nya (17/45) dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (3/193)), (ini adalah) dalil sekiranya beristighatsah kepada Jibril adalah syirik, maka tentu dia tidak akan menawarkannya kepada Ibrahim.”

Jawaban:

Sesungguhnya Jibril hanya menawarkan bantuan dalam hal yang dia mampu melakukannya. Seandainya Allah mengizinkan dia, maka dia akan menyelamatkan Ibrahim dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah. Dan sesungguhnya Jibril sebagaimana yang disifatkan oleh Allah ta’ala,

شَدِيدُ الْقُوَى

“(yang) sangat kuat.” (QS. An Najm: 5)

Maka seandainya Allah memerintahkannya untuk memindahkan api (yang membakar) Ibrahim dan melemparkannya ke timur atau ke barat, maka dia (akan mampu) melakukannya. Seandainya Allah memerintahkannya untuk memindahkan Ibrahim ke tempat yang jauh, maka dia akan mampu mengerjakannya, dan seandainya dia diperintahkan untuk mengangkat beliau ke atas langit, tentu dia akan mampu melakukannya.

Hal ini serupa dengan orang kaya yang mendatangi seorang yang fakir, dan berkata, “Apakah kamu memerlukan bantuan harta, berupa pinjaman, utang atau selain itu?” Hal ini merupakan perkara yang mampu dilakukannya, dan tidak dianggap sebagai suatu kesyirikan apabila si fakir mengatakan “Iya, aku keperluan, beri aku pinjaman.” Atau dia mengatakan “Bantulah aku!”, maka dia bukanlah seorang musyrik.

Penutup

Setelah kita mengetahui jawaban syubhat ini, maka sesungguhnya seseorang dituntut untuk bertauhid dengan hati, perkataan dan perbuatannya. Apabila dia bertauhid dengan hatinya, akan tetapi tidak bertauhid dengan perkataan atau perbuatannya maka pengakuannya adalah dusta, karena tauhid dalam hati akan diikuti oleh keduanya (tauhid dalam perkataan dan perbuatan), sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah jasad itu, jika dia rusak maka rusaklah jasad itu. Ketahuilah dia adalah hati.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman (52), Muslim dalam Kitab Al Musaaqaat (107, 1599). Yang dimaksudkan dengan qolb disini adalah secara maknawi)

Jika ada orang yang menauhidkan Allah dengan hatinya, akan tetapi tidak menauhidkan-Nya dengan perkataan dan perbuatan, maka sungguh dia termasuk pengikut Fir’aun yang meyakini dengan benar dan mengetahui keesaan Allah, akan tetapi menyombongkan diri, mengingkari dan tetap mengakui bahwa dia memiliki kekuasaan rububiyyah, Allah ta’ala berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (QS. An Naml: 14)

Firman Allah ta’ala tatkala Musa berkata kepada Fir’aun,

لَقَدْ عَلِمْتَ مَآأَنزَلَ هَآؤُلآءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَافِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” (QS. Al Isro’: 102)

Tidaklah dimaafkan orang yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengerjakannya karena takut menyelisihi kaum di negerinya dan alasan-alasan lain yang semisal. Alasan ini tidak bermanfaat baginya di sisi Allah ‘azza wa jalla, karena wajib bagi seseorang untuk mencari keridhaan Allah ‘azza wa jalla walaupun manusia murka (terhadapnya). Mayoritas gembong-gembong kekafiran mengetahui kebenaran tetapi mengingkarinya dan menyelisihi kebenaran tersebut, sebagaimana firman Allah ta’ala,

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS. Al Baqoroh: 146)

Allah ta’ala berkata tentang mereka, “Mereka menjual (menukar) ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah.”

Mereka beralasan dengan berbagai alasan yang tidak bermanfaat bagi mereka seperti takut kehilangan jabatan, dipersilakan duduk di depan bila ada acara dan semisalnya.

Mengenal kebenaran tanpa mengamalkannya lebih buruk daripada tidak tahu kebenaran, karena orang yang tidak mengetahui kebenaran dapat dimaafkan dan terkadang dia mengetahui kemudian dia mengerti dan belajar tidak seperti mereka yang menentang dan sombong. Oleh karena itu Yahudi menjadi kaum yang dimurkai karena mereka mengetahui kebenaran kemudian mereka meninggalkannya. Sedangkan Nashara menjadi kaum yang sesat karena mereka tidak mengenal kebenaran, akan tetapi sesudah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengenal kebenaran tersebut sehingga mereka menjadi orang-orang yang dimurkai Allah seperti Yahudi.

Melakukan amalan lahiriah yang merupakan konsekuensi tauhid (seperti sholat, zakat, dll), tanpa memahaminya atau meyakininya dengan hati, adalah kemunafikan yang lebih buruk dari kekufuran, karena Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ اْلأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (QS. An Nisaa: 145)

Selesai diterjemahkan dengan bebas di Jogjakarta 1 Syawal 1427 H oleh Muhammad As Salafy dengan beberapa tambahan.

***

Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah

****

Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Menjawab Kerancuan Berfikir Para Pengagung dan Penyembah Kuburan (bag. 2)


Jawaban Telak Untuk Quburiyyun (2)

6. Syubhat Keenam

“Sesungguhnya Allah telah memberikan syafaat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kami hanya meminta kepada beliau syafaat yang telah diberikan Allah kepadanya.”

Jawaban:

Sesungguhnya Allah memberikan syafaat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun melarang kita dari meminta syafaat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman,

فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

“Maka janganlah kamu menyembah (beribadah) seorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah.” (QS. Al Jin: 18)

Ketahuilah sesungguhnya Allah ta’ala memberikan syafaat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi beliau tidak mampu memberi syafaat melainkan dengan izin Allah dan syafaat tidak diberikan melainkan hanya kepada orang yang diridhoi Allah, sedangkan Allah tidak akan meridhoi orang musyrik dan tidak akan mengizinkan syafaat diberikan kepadanya. Allah ta’ala berfirman,

وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka tidak dapat memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah.” (QS. Al Anbiyaa’: 28)

Sesungguhnya Allah memberikan syafaat kepada selain nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Malaikat, anak-anak yang meninggal semasa kecil dan para wali Allah juga memberi syafaat. Apakah kita meminta syafaat kepada mereka?

Jika engkau ingin memperoleh syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapkanlah, “Ya Allah berikanlah syafaat Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.”

Bagaimana mungkin engkau menginginkan syafaat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan engkau berdoa meminta syafaat kepada beliau secara langsung, sedangkan berdoa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam !!!

7. Syubhat Ketujuh

“Kami tidak mempersekutukan Allah sedikit pun, dan berlindung kepada orang shalih bukanlah kesyirikan.”

Jawaban:

Allah lebih mengharamkan kesyirikan daripada zina, dan Allah tidak akan mengampuninya (Ini berlaku selama pelakunya belum bertaubat. Adapun jika dia bertaubat dengan sebenarnya maka dia dapat diampuni. Wallahu a’lam -pent). Jika demikian apakah itu syirik itu?

Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui hakikat syirik selama mereka beranggapan bahwa meminta syafaat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah bentuk kesyirikan. Ini adalah dalil bahwa mereka tidak mengetahui hakikat syirik yang sangat diharamkan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang amat besar.” (QS. Luqman: 13)

Bagaimana mungkin engkau bisa melepaskan diri dari kesyirikan dengan berlindung kepada orang shalih, sedangkan engkau tidak mengetahuinya! Menilai suatu penilaian adalah derivat dari persepsi tentangnya. Penilaian kalian yang menyatakan terbebasnya kalian dari syirik sedangkan kalian tidak mengetahui hakikat syirik adalah penilaian yang tidak dilandasi ilmu, sehingga penilaian itu tertolak, tidak dapat diterima.

Mengapa engkau tidak bertanya tentang kesyirikan yang sangat Allah haramkan lebih daripada pengharaman membunuh dan berzina. Pelaku syirik pasti masuk neraka dan surga haram baginya. Apakah engkau mengira Allah mengharamkan syirik atas hamba-hambaNya kemudian Dia tidak menjelaskan hakikat syirik kepada mereka? Sungguh mustahil.

8. Syubhat Kedelapan

“Syirik itu adalah menyembah (beribadah) kepada patung sedangkan kami tidak menyembah patung.”

Jawaban:

Sesungguhnya para penyembah patung itu tidak berkeyakinan bahwa patung itu mampu menciptakan, memberi rezeki dan mengatur segala urusan orang yang beribadah kepadanya. Al Quran mendustakan orang yang mengatakan bahwa mereka tidak berkeyakinan seperti itu.

Sesungguhnya peribadatan kepada patung adalah menambatkan hati kepada patung kayu, batu atau bangunan di atas kubur dan selainnya, kemudian mereka berdoa dan menyembelih untuknya seraya mengatakan sesungguhnya sesembahan kami ini akan mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya, serta Allah akan menolak bahaya dari kami dan memberi manfaat kepada kami dengan sebab keberkahannya.

Sesungguhnya perbuatan kalian di sisi batu-batu, bangunan-bangunan di atas kubur dan selainnya adalah semodel dengan perbuatan mereka. Atas dasar inilah maka perbuatan kalian adalah peribadatan kepada patung (berhala).

Sedangkan perkataan kalian “kesyirikan adalah beribadah kepada patung (berhala)”, maka apakah yang dimaksudkan kesyirikan itu hanya khusus hal itu saja, dan apakah ketergantungan hati kepada orang shalih dan berdoa kepada mereka tidak termasuk di dalamnya?

Hal inilah yang diinginkan tatkala Allah menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa termasuk kekufuran adalah menggantungkan hati kepada malaikat, Isa atau orang-orang shalih.

9. Syubhat Kesembilan

“Sesungguhnya orang-orang yang Al Quran diturunkan di tengah-tengah mereka itu tidak bersaksi/mengucapkan “Laa ilaha illallah”, dan mereka mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari hari kebangkitan dan mendustakan Al Quran dan menjadikannya bahan olok-olokan. Sedangkan kami bersaksi/mengucapkan “Laa ilaha illallah” dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, membenarkan Al Quran, beriman kepada hari kebangkitan, kami sholat dan berpuasa. Bagaimana mungkin kalian samakan kami dengan mereka?”

Jawaban:

Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa barang siapa mengingkari dan mendustakan sebagian ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia seperti orang yang mendustakan dan mengingkarinya secara keseluruhan. Barang siapa yang mengingkari salah seorang nabi, maka dia seperti mengingkari seluruh para nabi, karena Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan rasul-Nya dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain).’ Serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (QS. An Nisaa’: 150-151)

Firman Allah ta’ala kepada Bani Israil,

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيُُفيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (taurat) dan kafir terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian (itu) dari (golongan) kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (QS. Al Baqoroh: 85)

Jadi barang siapa mengakui tauhid kemudian mengingkari kewajiban sholat maka dia kafir. Barang siapa mengakui tauhid dan kewajiban sholat kemudian dia menentang kewajiban zakat, maka sesungguhnya dia itu kafir. Barang siapa mengakui kewajiban-kewajiban tadi namun dia menentang kewajiban puasa, maka dia adalah kafir. Barang siapa mengakui seluruh kewajiban di atas namun dia mengingkari kewajiban haji, maka dia juga kafir. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari/kafir (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97)

Barang siapa mengakui seluruh kewajiban tersebut, namun dia mengingkari hari kebangkitan, maka dia kafir menurut ijma’, karena Allah ta’ala berfirman,

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ

“Orang-orang kafir menyangka, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak, bahkan demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu amalkan.’ Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghaabun: 7)

Jadi jika kamu mengakui semua kewajiban tersebut, maka ketahuilah bahwa kewajiban terpenting yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tauhid, lebih penting dari sholat, zakat, puasa dan haji.

Maka bagaimana mungkin seorang yang menentang salah satu perkara tersebut dikafirkan walaupun dia mengamalkan yang lain, sedangkan bila menentang tauhid yang merupakan inti agama para rasul tidak dikafirkan? Maha Suci Allah, betapa mengherankannya kebodohan ini! Maka jelaslah bahwa pengingkar tauhid kekufurannya itu lebih keterlaluan.

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah yang berislam, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka mengumandangkan azan dan menjalankan sholat. Namun mereka mengangkat seseorang ke martabat seorang nabi, maka bagaimana dengan seseorang yang mengangkat seseorang ke martabat Yang Maha Kuasa atas langit dan bumi? Bukankah orang itu lebih berhak untuk dikafirkan daripada yang mengangkat seorang makhluk ke kedudukan makhluk yang lain?

Orang-orang yang dibakar oleh Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu itu mengaku Islam, mereka adalah sahabat Ali ibn Abi Thalib serta belajar dari pada sahabat akan tetapi mereka berkeyakinan terhadap Ali sebagaimana keyakinan banyak orang terhadap Yusuf, Syamsan (Nama berhala di masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -pent) dan semisal mereka. Jika demikian, mengapa para sahabat sepakat memerangi dan mengkafirkan mereka?

Apakah engkau mengira bahwa para sahabat mengkafirkan kaum muslimin? Ataukah kalian mengira tidak mengapa berkeyakinan kepada Al Husain, Badawi dan semisalnya sedangkan berkeyakinan kepada Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu dikafirkan?

Sungguh para ulama sepakat atas kafirnya Bani ‘Ubaid Al Qoddah yang menguasai Maroko dan Mesir. Mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka sholat Jumat dan berjama’ah serta mengaku sebagai kaum muslimin, akan tetapi itu semua menghalangi vonis murtad untuk mereka oleh kaum muslimin tatkala mereka menyelisihi kaum muslimin dalam beberapa perkara yang tidak termasuk tauhid sehingga mereka akhirnya diperangi dan harta mereka dijadikan rampasan perang.

Jika orang-orang terdahulu tidaklah dikafirkan kecuali setelah terkumpul seluruh jenis kekufuran pada mereka berupa kesyirikan, pendustaan dan sikap menyombongkan diri, lalu apakah makna disebutkannya bentuk-bentuk kekufuran dalam “bab hukum murtad” yang terdapat kitab-kitab fikih? Semua perbuatan tersebut dikafirkan, hingga disebutkan beberapa hal yang kecil ketika seseorang itu mengerjakannya, misal mengucapkan kalimat kekufuran dengan lisannya tanpa meyakininya dengan hati, atau mengucapkan kalimat kekufuran dengan tujuan bersenda gurau dan bermain-main. Jika sekiranya pelaku perbuatan tersebut tidak dikafirkan dengan mengerjakan salah satu dari perbuatan tersebut karena dia mengerjakan kewajiban yang lain, maka tentunya penyebutan jenis-jenis kekufuran dalam bab hukum murtad itu sama sekali tidak bermanfaat.

Sesungguhnya Allah ta’ala mengkafirkan orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat kekufuran sedangkan mereka menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sholat, zakat, berhaji dan berjihad bersama beliau serta mereka bertauhid, Allah ta’ala berkata tentang mereka,

يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَاقَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلاَمِهِمْ

“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak akan mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah kafir sesudah (menjadi) Islam.” (QS. At Taubah: 74)

Allah ta’ala mengkafirkan orang-orang munafik yang mengucapkan suatu kalimat yang menurut mereka sekedar untuk bergurau. Allah ta’ala berfirman tentang mereka,

قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasul-Nya kamu selalu bersenda gurau?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66)

Di antara dalil bahwa seseorang terkadang mengucapkan dan mengerjakan perbuatan yang merupakan kekufuran di saat dia tidak menyadarinya, adalah perkataan Bani Israil kepada Musa ‘alahis shalatu was salam:

“Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!” (QS. Al A’raaf: 138)

dan juga perkataan sebagian sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Buatkanlah Dzata Anwath bagi kami sebagaimana yang mereka miliki” maka beliau berkata:

“Allahu Akbar, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya sesungguhnya sunnah (tradisi) apa yang kamu katakan tadi seperti yang dikatakan kalangan Bani Isra’il kepada Musa: ‘Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!’, maka sungguh kalian akan mengikuti sunnah (tradisi) orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad (5/218), Tirmidzi (2180), Nasa’i dalam Al Kubra (11185), Thabrani dalam Al Kabir (3290), Ibnu Abi Syaibah (15/101), Ibnu Hibban (6702))

Hal ini menunjukkan bahwa Musa dan Muhammad ‘alaihimash shalatu was salam mengingkari perbuatan itu dengan keras.

-bersambung insya Allah-

***

Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah

****

Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
dinukil dari: www.muslim.or.id

Menjawab Kerancuan Berfikir Para Pengagung dan Penyembah Kuburan

Artikel ini terbagi menjadi 3 bagian. Kami nukil semua artikel yang ada dari web: www.muslim.or.id


Jawaban Telak Untuk Quburiyyun (1)


Segala puji bagi Allah Robbul ‘Alamiin. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amma ba’du.

Ketahuilah! Semoga Allah merahmati kita semua bahwa jalan menuju ridho Allah memiliki musuh-musuh yang pandai bersilat lidah, berilmu dan memiliki argumen. Oleh karena itu kita wajib mempelajari agama Allah yang bisa menjadi senjata bagi kita untuk memerangi syaitan-syaitan ini, yang pemimpin dan pendahulu mereka (baca: iblis) berkata kepada Robb-mu ‘azza wa jalla:

لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau akan mendapati mereka kebanyakan tidak bersyukur (ta’at).” (QS. Al A’raaf: 16-17)

Ketahuilah, sesungguhnya tentara Allah akan senantiasa menang dalam argumen dan perdebatan sebagaimana mereka menang dengan pedang dan senjata. Seorang muwahhid (orang yang bertauhid) yang menempuh jalan (Allah) namun tanpa senjata (ilmu untuk membela diri) amatlah mengkhawatirkan.

Allah ta’ala telah memberi nikmat kepada kita dengan menurunkan kitab-Nya yang Dia jadikan:

تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِين

َ

“Sebagai penjelas atas segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin.” (QS. An Nahl: 89)

Tidak ada seorang pun pembawa kebatilan datang dengan membawakan hujjah (demi membela kebatilannya) melainkan di dalam Al Quran terdapat dalil yang membantahnya dan menjelaskan kebatilannya, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلاَيَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّجِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang (ganjil), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al Furqon: 33)

Termasuk ahlul bathil adalah ahlul bid’ah dan para quburiyyin yang sesat mereka tinggalkan kewajiban ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya yaitu para nabi dan wali. Mereka memiliki dalih-dalih. Untuk menjawabnya dapat ditempuh dua metode, secara global dan rinci.

Jawaban Global

Allah ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ

“Dialah yang menurunkan Al Quran kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutsyabihaat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (QS. Ali Imron: 7)

(Ayat muhkamat adalah Ayat yang jelas dan tegas maksudnya dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah. Termasuk pengertian ayat mutasyaabih adalah ayat yang sukar untuk dipahami walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang dapat memahami karena ilmunya lebih mumpuni -pent).

Dalam hadits shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فألئك الذين سمى الله فاحذرهم

“Jika engkau melihat ada orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabih dari Al Quran, maka mereka itulah yang disebutkan Allah (dalam ayat itu), maka jauhilah mereka.” (HR. Bukhari 4547 dan Muslim 2665)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita agar menjauhi orang yang mengikuti ayat mutasyabih dari Al Quran atau sunnah kemudian membungkus kebatilannya dengan hal itu. Mereka inilah yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

“Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada zaigh (condong kepada kesesatan).”

Sebab peringatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhawatiran beliau andai mereka menyesatkan kita dari jalan Allah disebabkan mengikuti ayat mutasyaabih, maka beliau memperingatkan kita untuk menjauhi mereka dan menjauhi jalan mereka.

Jawaban Rinci

1. Syubhat Pertama

“Kami tidaklah menyekutukan Allah. Kami bersaksi bahwasanya tidak ada yang dapat menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat dan menimpakan bahaya melainkan Allah semata tidak ada sekutu baginya. Kami juga bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat memberi manfaat dan mencegah bahaya bagi dirinya. Akan tetapi kami ini adalah orang yang bergelimang dosa, dan orang-orang shalih ini memiliki kedudukan di sisi Allah, maka kami memohon ampunan Allah dengan perantara mereka.”

Jawaban:

Sesungguhnya orang-orang yang diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darahnya boleh ditumpahkan dan wanita-wanitanya boleh diperbudak, mengakui hal tersebut. Mereka mengakui bahwa berhala-berhala mereka tidak dapat mengatur sesuatu pun. Tetapi mereka hanya menginginkan jah (kedudukan) dan syafaat mereka. Ternyata tauhid ini tidak berguna sedikit pun bagi mereka.

Dan Allah ‘azza wa jalla mengatakan dalam kitab-Nya:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah Aku (semata).” (QS. Al Anbiyaa’: 25)

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (semata).” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak selain Dia. Dan para malaikat, orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu) dengan keadilan. Tidak ada sesembahan yang hak melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imron: 18)

وَإِلاَهُكُمْ إِلَهُُ وَاحِدُُ لآَّإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحَمَنُ الرَّحِيمُ

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang hak melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh: 163)

فَإِيَّايَ فَاعْبُدُون

َ

“Maka sembahlah aku semata.” (QS. Al Ankabut: 56)

Masih terdapat berbagai ayat lain yang menunjukkan kewajiban mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam ibadah dan tidak beribadah kepada seorang pun selain-Nya.

2. Syubhat Kedua

“Ayat-ayat yang telah disebutkan itu diturunkan kepada mereka yang beribadah/menyembah patung/berhala. Sedangkan orang-orang yang kami maksudkan adalah para wali bukan patung/berhala.”

Jawaban:

Seorang yang beribadah kepada selain Allah maka dia telah menjadikan sesembahannya tersebut watsan (berhala). Maka apakah perbedaan antara orang yang beribadah kepada patung-patung dengan yang beribadah kepada para nabi dan wali?!

Di antara orang-orang kafir terdapat orang yang berdoa kepada patung untuk mendapatkan syafaat, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada para wali.

Dalil bahwa mereka beribadah/berdoa kepada wali adalah perkataan mereka,

ُأوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَة

َ

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Isra: 57)

Begitu pula mereka menyembah para nabi sebagaimana kaum Nashara beribadah terhadap Al Masih Ibn Maryam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,

وَإِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّىَ إِلاَهَيْنِ مِن دُونِ اللهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَايَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَالَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلآَأَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai sesembahan selain Allah?’ ‘Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghoib.’” (QS. Al Maaidah: 116)

Demikian pula mereka menyembah para malaikat, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلاَئِكَةِ أَهَؤُلآءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semua, kemudian Allah berfirman kepada malaikat: Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” (QS. As Saba’: 40)

Berdasarkan keterangan di atas tersingkaplah kerancuan mereka yang beranggapan bahwa kaum musyrikin berdoa kepada patung-patung sedangkan mereka berdoa kepada para wali dan orang shalih dari dua sisi:

Sisi pertama: Anggapan mereka sama sekali tidak benar, karena di antara kaum musyrikin pun ada yang berdoa/beribadah kepada para wali dan orang shalih.

Sisi kedua: Sekiranya kita menganggap kaum musyrikin tidak menyembah melainkan kepada patung semata, maka tidak ada bedanya antara mereka yang menyembah para wali dan orang shalih dengan para musyrikin karena mereka semua menyembah kepada sesuatu yang sama sekali tidak dapat mendatangkan manfaat sama sekali.

Dari sini kita mengetahui bahwa Allah mengkafirkan orang yang memiliki keyakinan yang aneh-aneh tentang patung atau dengan orang shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka karena kesyirikan ini, dan sesembahan mereka yaitu para wali Allah dan orang shalih tidak mampu memberi manfaat kepada mereka (Yakni memberi mereka pertolongan saat mereka diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

3. Syubhat Ketiga

“Kaum kuffar menghendaki dari patung-patung itu untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot dari mereka. Sedangkan kami tidak mengharapkan yang demikian itu kecuali kepada Allah dan orang-orang shalih pun tidak memiliki kekuasaan dalam hal ini sedikit pun. Dan kami tidak beri’tiqod kepada mereka, akan tetapi kami mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan perantaraan mereka agar mereka menjadi pemberi syafaat bagi kami.”

Jawaban:

Ucapan ini sama persis dengan ucapan orang-orang kafir ketika Allah ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلْفَى

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az Zumar: 3)

هَاؤُلآءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللهِ

“Mereka inilah pemberi-pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)

4. Syubhat Keempat

“Kami tidak menyembah melainkan kepada Allah semata, sedangkan iltija’ (berlindung) kepada orang shalih dan berdoa kepada mereka bukanlah termasuk ibadah.”

Jawaban:

Ketahuilah bahwa Allah mewajibkanmu untuk memaksudkan ibadah hanya kepada-Nya semata dan ini merupakan hak Allah yang menjadi kewajiban manusia, Allah ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Robb-mu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lirih. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raaf: 55)

Doa adalah ibadah. Apabila doa termasuk ibadah maka sesungguhnya berdoa kepada selain Allah adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang berhak untuk diseru, disembah dan disandarkan harapan adalah Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.

Jika kita telah mengetahui bahwa doa adalah ibadah, dan kita berdoa kepada-Nya siang dan malam dengan penuh harap dan takut kemudian kita berdoa kepada nabi atau selainnya agar memenuhi hajat kita, maka sungguh kita telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam ibadah.

Allah ta’ala berfirman,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka tegakkanlah shalat dan berkurbanlah!” (QS. Al Kautsar: 2)

Apabila kita menaati Allah dan berkurban untuk-Nya, maka ini adalah ibadah kepada Allah. Sehingga jika kita berkurban kepada makhluk, baik itu nabi, jin atau yang lainnya maka sungguh kita telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam masalah ibadah.

Kaum musyrikin yang Al Quran diturunkan di tengah-tengah mereka, menyembah para malaikat, orang-orang shalih dan Latta. Sedangkan bentuk peribadatan mereka kepada sesembahan mereka hanyalah dalam bentuk doa, sembelihan, iltija’ (meminta perlindungan) dan semacamnya (dari perkara ibadah). Sedangkan mereka sendiri mengakui bahwa mereka adalah hamba Allah dan di bawah kuasa-Nya serta Allahlah yang mengatur segala urusan. Akan tetapi, mereka berdoa dan berlindung kepada sesembahan selain Allah karena kedudukan orang shalih tersebut di sisi Allah dan mengharapkan syafaat mereka. Ini adalah sangat jelas.

5. Syubhat Kelima

Perkataan mereka terhadap ahli tauhid:

“Kalian mengingkari syafaat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

Jawaban:

Kami tidak mengingkari syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak berlepas diri darinya, bahkan Beliau shallallahu ”alaihi wa sallam adalah syaafi’ (pemberi syafa’at), musyaffa’ (yang diizinkan memberi syafa’at oleh Allah) dan aku berharap bisa mendapatkan syafaat Beliau. Akan tetapi seluruh bentuk syafaat adalah milik Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala,

قُلِ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا

“Katakanlah! Hanya kepunyaan Allahlah syafaat itu semuanya.” (QS. Az Zumar: 44)

Syafaat itu tidak akan diberikan melainkan setelah diizinkan oleh Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah ta’ala,

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Siapakah yang dapat memberikan syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS. Al Baqarah: 255)

Nabi tidak bisa memberi syafaat kepada seseorang melainkan setelah Allah mengizinkannya, sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka tidak dapat memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah.” (QS. Al Anbiyaa’: 28)

Sedangkan Allah hanya ridho terhadap tauhid, firman ‘azza wa jalla,

يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ

“(Barang siapa) yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (QS. Ali Imron: 85)

Apabila seluruh bentuk syafaat itu milik Allah, dan tidak akan diberikan melainkan setelah (ada) izin dari-Nya, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau tidak dapat memberi syafaat kepada seorang pun hingga Allah mengizinkan mereka, padahal Allah tidak akan mengizinkannya kecuali untuk orang yang bertauhid. Oleh karena itu mohonlah syafaat kepada Allah dan panjatkan doa, “Ya Allah janganlah Engkau halangi aku untuk mendapatkan syafaat beliau, Ya Allah berikanlah syafaat beliau kepadaku” atau kalimat semisal dengannya.

-bersambung insya Allah-

***

Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah

****

Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Dinukil dari: Artikel www.muslim.or.id