Selasa, 24 Juni 2008

Beberapa Tanda Yang dapat Dijadikan Barometer Untuk Mengenali Tukang Sihir

BEBERAPA TANDA YANG DAPAT DIJADIKAN BAROMETER UNTUK MENGENALI TUKANG SIHIR

Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
http://www.almanhaj.or.id/content/2055/slash/0

Jika Anda mendapat satu tanda dari tanda-tanda berikut ini pada orang-orang yang melakukan pengobatan, maka tidak diragukan lagi dia adalah seorang tukang sihir. Berikut ini tanda-tanda tersebut.

[1]. Menanyakan nama pasien dan nama ibunya

[2]. Meminta salah satu dari beberapa benda bekas dipakai si pasien (baik itu baju, topi, sapu tangan, atau kaos).

[3]. Terkadang meminta hewan dengan kriteria tertentu untuk disembelih dengan tidak menyebut nama Allah padanya dan terkadang darah binatang sembelihan itu dioleskan pada beberapa tempat penyakit yang dirasakan oleh pasien atau melempar binatang itu ke tempat puing-puing bangunan.

[4]. Penulisan mantra-mantra tertentu.

[5]. Membaca jimat-jimat dan mantra-mantra yang tidak dapat difahami.

[6]. Memberi suatu pembatas yang terdiri dari empat persegi, kepada pasien yang di dalamnya terdapat huruf-huruf atau angka-angka.

[7]. Dia menyuruh pasien untuk mengurung diri dari orang-orang untuk waktu tertentu di suatu ruangan yang tidak dimasuki sinar matahari, yang kaum awam menyebutnya dengan hijbah.

[8]. Terkadang si penyihir itu menyuruh pasien untuk tidak menyentuh air untuk waktu tertentu.

[9]. Memberi beberapa hal pada pasien untuk ditimbun di dalam tanah.

[10]. Memberi pasien beberapa kertas untuk dibakar dan mengeluarkan asap.

[11]. Berkomat-kamit dengan kata-kata yang tidak difahami.

[12]. Terkadang si penyihir memberi tahu pasien nama dan kampung halaman pasien tersebut. Serta permasalahan yang akan dikemukakannya

[13]. Si penyihir juga menuliskan untuk pasien beberapa huruf terputus-putus di sebuah kertas (jimat). Atau di lempengan tembikar putih, lalu menyuruh pasien melarutkan dan meminumnya.

Jika anda mengetahui bahwa seseorang adalah Tukang Sihir, maka hindarilah dan jaganlah anda mendatanginya, dan jika tidak, maka anda termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mendatangi seorang dukun, lalu ia membenarkan apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang diturunkankan kepada Muhammad" [1]

[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dengan beberapa penguatnya, hadits ini hasan dan diriwayatkan juga oleh Ahmad dan al- Hakim, dishahihkan oleh al-Albani: Lihat Shahihul Jaami’ (no. 5939)

Hukum Tukang Sihir Dari Kalangan Ahlul Kitab, Bolehkah Menghilangkan Sihir Dengan Sihir?


HUKUM TUKANG SIHIR DARI KALANGAN AHLUL KITAB

Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
http://www.almanhaj.or.id/content/2339/slash/0


[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Abu Hanifah rahimahullah mengatakan: ‘Tukang sihir dari kalangan Ahlul Kitab harus juga dibunuh. Hal itu didasarkan pada beberapa hadits, dan karena sihir itu merupakan tindak kejahatan yang mengharuskan pembunuhan terhadap orang muslim yang melakukannya, sehingga pembunuhan itu pun harus diberlakukan terhadap orang dzimmi, [1] sebagaimana hukuman bagi pembunuhan.’”[2]

[2]. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Tukang sihir Ahlul Kitab tidak harus dibunuh kecuali dengan sihirnya itu dia membunuh orang lain, sehingga dia pun harus dibunuh.’”

Selain itu dia juga mengatakan: “Jika dengan sihirnya itu dia menimpakan suatu mudharat kepada orang muslim yang tidak pernah melakukan perjanjian dengannya, maka karena tindakan tersebut, perjanjian itu dibatalkan dan dibolehkan untuk membunuhnya. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh Labid bin al-A’sham karena beliau tidak melakukan balas dendam untuk diri beliau sendiri. Selain itu, karena beliau takut dengan membunuhnya akan menimbulkan fitnah di kalangan kaum muslimin dan kalangan persatuan kaum Anshar.”[3]

[3]. Asy-Syafi’i rahimhullah mengatakan: “Tukang sihir dari kalangan Ahlul Kitab, tidak harus dibunuh, kecuali jika dengan sihirnya itu dia melakukan pembunuhan terhadap orang lain, sehingga dia layak untuk dibunuh juga.”[4]

[4]. Lebih lanjut Ibnu Qudamah rahimahullah mengemukakan: “Adapun tukang sihir dari kalangan Ahlul Kitab, tidak harus dibunuh karena sihirnya kecuali jika dengannya dia membunuh orang . Sebagaimana yang biasa berlaku, dia harus dibunuh karena sihirnya sebagai hukuman qishash baginya. Hal itu sebagaimana telah ditegaskan bahwa Labid bin al-A’sham pernah menyihir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tidak membunuhnya, dan karena kesyirikan itu lebih besar dari sihirnya dan dia pun tidak dibunuh.”

Lebih lanjut, Ibnu Qudamah mengungkapkan: “Hadits-hadits itu diriwayatkan berkenaan dengan tukang sihir dari kalangan kaum muslimin, sebab dia dapat dikafirkan karena sihir tersebut, dan itulah orang kafir yang sebenarnya, dan qiyas mereka dianggap batal karena keyakinan kufur dan orang yang mengucapkannya. Juga menjadi batal karena perzinahan orang yang sudah menikah. Maka menurut mereka, orang dzimmi tidak dibunuh karena sihir, tetapi orang muslim harus dibunuh karenanya. Wallaahu a’lam”.[5]

BOLEHKAH MENGHILANGKAN SIHIR DENGAN SIHIR?
[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan : “Adapun orang yang mengobati sihir, jika dilakukan dengan menggunakan beberapa ayat al-Qur-an atau beberapa dzikir, sumpah, ucapan yang tidak dilarang (oleh agama.-ed), maka tidak ada masalah (boleh). Tetapi jika pengobatan itu dilakukan dengan beberapa hal yang mengandung sihir, maka Imam Ahmad bin Hanbal bersikap diam” [6]

[2]. Al-HAfidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Mengenai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“An-Nusyrah (Pengobatan sihir dengan mantra dan jampi) termasuk perbuatan syaitan.”[7]

Dapat dijawab bahwa perbuatan itu merupakan isyarat kepada aslinya. Barang siapa yang bermaksud dengan pengobatan itu memberikan kebaikan, maka hal itu akan menjadi kebaikan dan jika tidak, maka itu merupakan suatu keburukan.”

Lebih lanjut, Ibnu Hajar mengungkapkan : “Tetapi, bisa jadi nusyrah itu ada dua macam.”[8]

Saya katakan bahwa inilah yang benar, karena pengobatan dengan nusyrah itu terdiri dua macam.

1). Nusyrah yang dibolehkan adalah yang menghilangkan sihir dengan al-Qur’an, do’a-do’a dan dzikir yang disyari’atkan.

2). Nusyrah yang diharamkan, yaitu pengobatan sihir dengan sihir, dengan meminta pertolongan kepada syaitan dan mendekati mereka serta mencari keridhaan mereka.[9]

Dan mungkin, inilah jenis pengobatan nusyrah yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“An-Nusyrah (pengobatan terhadap sihir dengan mantra dan jampi) termasuk perbuatan syaitan.”

Bagaimana cara pengobatan seperti itu akan dibolehkan, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memberikan larangan mendatangi tukang sihir serta dukun dalam banyak hadits, serta menjelaskan bahwa orang yang membenarkan mereka, maka dia telah kufur kepada apa yang diturunkan kepadanya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

3). Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Nusyrah berarti mengobati sihir dari orang yang tersihir, yang terdiri dari dua macam.

[a]. Mengobati sihir dengan sihir yang sama, dan inilah yang termasuk perbuatan syaitan, dan kepada hal tersebut pula diarahkan pendapat Hasan al-Bashri. Sehingga dengan demikian, orang yang mengobati dengan cara itu dan yang diobati telah mendekati syaitan dengan apa yang disukai oleh syaitan,sehingga akan dibatalkan (oleh syaitan) perbuatannya dari orang yang tersihir.

[b]. Pengobatan nusyrah dengan menggunakan ruqyah, ta’awu-dzat (memohon perlindungan) dan do’a-do’a yang dibolehkan. Maka yang terakhir ini yang dibolehkan.”

[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
__________
Foote Note
[1]. Orang kafir dzimmi: Orang kafir yang tunduk kepada hokum pemerintahan Iskam dan dilindungi oleh pemerintahan Islam.
[2] Al-Mughni (X/115).
[3] Faat-hul Baari (X/236).
[4] Faat-hul Baari (X/23615
[5]. Al-Mughni (X/115).
[6]. Al-Mughni (X/114).
[7]. Diriwayatkan oleh ahmad dan abu Dawud. Al-Hafizh menghasankan sanad hadits ini didalam Faat-hul Baari (X/233).
[8]. Faat-hul Baari (X/233).
[9]. Lihat kembali pembahasan tentang macam-macam permintaan pertolongan kepada syaitan di dalam kitab saya: Wiqaayatul Ihsaan, (hal.115)

Bolehkah Mempelajari Sihir?, Perbedaan Antara Sihir, Karamah dan Mukjizat

BOLEHKAH MEMPELAJARI SIHIR?

Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
http://www.almanhaj.or.id/content/2366/slash/0

[1]. Al-Hafizh rahimahullah mengungkapkan: Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kufur.” [Al-Baqarah: 102]

Di dalam firman-Nya ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa mempelajari sihir adalah kufur.” [1]

[2]. Ibnu Qudamah ra mengatakan: “Belajar dan mengajarkan sihir adalah haram. Dalam hal itu kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat diantara para ulama. Para sahabat kami [2] mengatakan, ‘Dikafirkan bagi tukang sihir untuk mempelajari dan mengerjakannya, baik dia yakin keharamannya atau kebolehannya”[3]

[3]. Abu ‘Abdillah ar-Razi mengatakan: “Mengetahui sihir itu bukan suatu hal yang buruk dan tidak juga dilarang. Para muhaqqiq telah bersepakat dalam masalah tersebut, karena pengetahuan itu sendiri pada hakikatnya adalah mulia. Dan karena adanya keumuman firman Allah Ta’ala:

“Artinya : Katakanlah hai Muahammad, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’” [Az-Zumar: 9]

Dan karena sihir, jika tidak diketahui, maka tidak mungkin dibedakan dari mukjizat. Sedangkan pengetahuan tentang pemberi mukjizat (Allah) adalah suatu hal yang wajib, apabila suatu kewajiban bergantung kepada sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib. Sesuatu yang berhukum wajib, bagaimana akan bisa dikatakan haram dan buruk?”[4]

[4]. Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Apa yang disampaikan ar-Razi masih perlu ditinjau dari beberapa sisi, yaitu:

Pertama: Ucapannya, bahwa mengetahui sihir bukan suatu hal yang buruk, jika yang dimaksudkan tidak buruk itu menurut akal, maka penentangnya dari kaum mu’tazilah telah menyanggah hal tersebut. Jika yang dimaksudkan (dengan) tidak buruk itu menurut syari’at, maka terkandung di dalam ayat yang mulia ini:

“Artinya : Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman…” [Al-Baqarah :102]

Di mana ayat tersebut memuat kecaman bagi upaya mempelajari sihir. Dalam hadits shahih juga disebutkan.

“Barang siapa mendatangi peramal atau dukun, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”[5]

Dan dalam beberapa kitab Sunan disebutkan

“Artinya : Barangsiapa mengikat suatu ikatan dan barangsiapa yang meniupnya, berarti dia telah melakukan sihir”

Kedua: Demikian juga dengan ucapannya: “…dan tidak juga dilarang. Para muhaqqiq telah bersepakat dalam masalah tersebut.” bagaimana tidak dilarang, padahal telah terdapat ayat dan hadits sebagaimana kami sebutkan di atas. Dan kesepakatan para muhaqqiq menuntut ditetapkannya hal tersebut oleh para ulama atau mayoritas dari mereka. Lalu manakah nash mereka mengenai hal tersebut? Selanjutnya, memasukkan sihir ke dalam keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) , ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui’” [Az-Zumar : 9], masih terdapat catatan, karena ayat ini sebenarnya menunjukkan pujian terhadap orang-orang yang berilmu dengan ilmu syari’at.

Mengapa anda tidak mengatakan bahwa sihir itu termasuk darinya, lalu anda menaikkannya menjadi wajib dalam mempelajarinya, dengan alasan bahwa pengetahuan mengenai mukjizat iitu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan mengetahui ilmu sihir. Yang demikian itu merupakan alasan, yang lemah, bahkan menyimpang, karena mukjizat terbesar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an yang agung, yang tidak mungkin diserang oleh kebathilan, baik dari arah depan maupun belakang, itulah kitab yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Kemudian untuk mengetahui bahwa Dia adalah Pemberi mukjizat, pada dasarnya tidak lain harus bergantung pada pengetahuan terhadap ilmu sihir.

Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa para sahabat dan tabi’in, serta para imam dan orang-orang awam dari kalangan kaum muslimin telah mengetahui mukjizat dan bisa membedakan antara mukjizat dan yang lainnya. Dan mereka tidak mengetahui sihir serta tidak juga mempelajari dan mengajarkannya. Wallaahu a’lam.[6]

Di dalam kitab al-Bahrul Muhiith, Abu Hayan mengatakan: “Adapun hukum belajar sihir, jika diantara sihir itu dimaksudkan untuk mengagungkan selain Allah, seperti bintang-bintang dan syaitan, juga menambahkan apa yang telah diberitahukan oleh Allah, maka menurut kesepakatan ijma’ adalah kufur, tidak boleh mempelajarinya dan tidak juga mengamalkannya. Demikian juga jika mempelajarinya dimaksudkan untuk menumpahkan darah serta memisahkan pasangan suami-istri atau persahabatan. Adapun jika tidak diketahui mengandung beberapa hal di atas, tetapi ada kemungkinannya, maka yang jelas hal tersebut tidak dibolehkan untuk mempelajari dan mengamalkannya. Sedangkan yang termasuk jenis pengelabuan, hipnotis dan sulap, maka tidak perlu mengetahuinya, karena ia merupakan bagian dari kebathilan. Dan jika dimaksudkan hanya untuk permainan dan hiburan orang-orang melalui kecepatan tangannya, maka hal itu dimakruhkan.”[7]

Dapat saya katakan: “Perkataan itu merupakan ungkapan yang sangat baik, dan hal itu pula yang seharusnya menjadi sandaran dalam masalah tersebut.”

Perbedaan Antara Sihir, Karamah dan Mukjizat.
Al-Marazi mengungkapkan: “Perbedaan antara sihir, karamah dan mukjizat adalah bahwa sihir berlangsung melalui proses beberapa bantuan sejumlah bacaan dan perbuatan (upacara ritual) sehingga terwujud apa yang menjadi keinginan si penyihir. Sedangkan karamah tidak membutuhkan hal tersebut, tetapi biasanya karamah ini muncul berkat taufiq dari Allah. Adapun mukjizat, ia mempunyai kelebihan atas karamah, karena diperoleh melalui perjuangan (tantangan).”[8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan: “Imam al-Haramain menukil ijma’ yang menyatakan bahwa sihir itu tidak muncul kecuali dari orang fasik, sedangkan karamah tidak akan muncul pada orang fasik.”

Selain itu Ibnu Hajar juga mengungkapkan: “Perlu juga diperhatikan keaadaan orang yang mengalami kejadian luar biasa seperti itu, jika dia berpegang teguh pada syari’at dan menjauhi dosa-dosa besar, maka berbagai kejadian luar biasa yang tampak pada dirinya merupakan karamah, dan jika dia tidak berpegang teguh pada syari’at serta melakukan perbuatan dosa besar, maka hal tersebut merupakan sihir, karena sihir itu muncul dari salah satu jenisnya, misalnya memberi bantuan kepada syaitan.”[9]

Peringatan:
Biasa jadi seseorang itu bukan tukang sihir dan tidak mengenal sihir sama sekali dan dia pun tidak berpegang pada syari’at. Bahkan justru senang melakukan perbuatan dosa besar, meski demikian, pada dirinya tampak beberapa kejadian luar biasa, dan tidak jarang hal itu terjadi pada ahli bid’ah atau orang yang suka menyembah kuburan. Maka mengenai hal tersebut, dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan bantuan syaitan sehngga jalan bid’ah yang ditempuhnya itu dibuat indah sedemikian rupa sehingga tampak indah oleh orang lain, lalu mereka mengikutinya dan meninggalkan Sunnah. Hal seperti itu sudah banyak terjadi dan sudah sangat populer, khususnya jika orang itu salah seorang pemimpin salah satu thariqat shufi yang diwarnai dengan bid’ah.

[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
__________
Foote Note
[1]. Faat-hul Baari (X/225).
[2]. Yakni, para penganut madzhab Hambali.
[3]. Al-Mughni (X/106).
[4]. Dinukil dari Tafsiir Ibnu Katsir (I/145).
[5]. Diriwayatkan oleh perawi yang empat (Abu Dawud, at-Tirmidzi,an-Nasa'i, dan Ibnu majah) dan al Bazzar dengan sanad-sanad yang hasan dengan lafazh: “Lalu dia membenarkannya.” Dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan menggunakan lafazh: “ Lalu dia membenarkannya, maka shalatnya tidak akan di terima selama empat puluh hari.”
[6]. Dinukil dari Tafsiir Ibnu Katsir (I/145).
[7]. Dinukil dari Rawaa-i’ul Bayaan (I/85).
[8]. Faat-hul Baari (X/233).
[9]. Faat-hul Baari (X/233).

Pencuri Berita Langit


Iklan di media massa baik televisi maupun media cetak, yang menawarkan ramalan dan janji untuk mendapatkan yang diinginkan dengan mudah walaupun hanya dengan mengirimkan SMS, sangat marak belakangan ini. Sebagai seorang muslim sudah seharusnya mengetahui bahwa hal-hal yang demikian termasuk dalam hal yang dilarang oleh agama. Orang menjadi percaya ketika ramalan tersebut terkadang terjadi. Tapi benarkan mereka mengetahui hal yang ghaib?. Atau sebenarnya mereka itu pembohong, yang kemungkinan benarnya hanya 1 dari 100 kejadian yang ada? Artikel berikut ini menjelaskan sedikit tentang fenomena tersebut yang dinukil dari : www.muslim.or.id.

Mengapa ramalan dari tukang ramal, dukun, paranormal, atau tukang sihir terkadang sesuai dengan kenyataan? Ternyata ada yang mencuri berita dari langit. Mereka bekerjasama dengan syaithan dari bangsa jin yang berusaha menyadap berita yang terjadi dari langit.

Alloh menciptakan langit berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat. Alloh berfirman yang artinya, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.” (Qs. Al Mulk: 3). “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (Qs. Nuh: 15). Tiap-tiap lapisan ada penghuninya sebagaimana halnya bumi. Alloh berfirman, “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Alloh.” (Qs. Al Isra’: 44)

Berita Langit

Sebagaimana telah maklum bahwa sumber segala urusan adalah berasal dari Alloh. Dia berfirman, “Alloh mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Rabbmu.” (Qs. Ar Ra’d: 2). Jadi, Alloh mengatur segala urusan sesuai dengan kehendaknya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Qs. Yasin: 82). Inilah yang disebut dengan berita langit. Apapun yang terjadi di alam semesta ini tidak lepas dari ilmu, kehendak, ciptaan dan takdir Alloh Subhanahu wa Ta’ala. “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu minta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Qs. Ar Rahman: 29). Maksudnya Alloh senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki, dan lain-lain.

Fungsi Bintang di Langit

Alloh menciptakan segala sesuatu tidak sia-sia. Semua mengandung hikmah. Alloh menjadikan bintang-bintang di langit selain sebagai hiasan dan penunjuk arah adalah untuk menjaga langit dari para pencuri beritanya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat (langit dunia) dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (Qs. Ash Shaffat: 6-10)

Qotadah berkata, “Bintang-bintang diciptakan untuk 3 perkara; sebagai hiasan langit, alat pelempar syaithan-syaithan, dan penunjuk arah. Barangsiapa yang menafsirkan keberadaan bintang-bintang itu untuk selain dari 3 perkara tersebut maka dia telah salah dan menyia-nyiakan amalnya serta memberat-beratkan dirinya dengan sesuatu yang tidak ia ketahui. (HR. Al Bukhori)

Penjagaan Langit

Jin-jin itu berkata sebagaimana diceritakan Alloh, “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Qs. Al Jin: 8-9)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila Alloh menetapkan perintah di atas langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman (yang didengar) itu seperti gemerincing rantai besi (yang ditarik) di atas batu rata, hal itu memekakkan mereka (sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan). Maka apabila telah dihilangkan rasa takut dari hati mereka, mereka berkata: ‘Apakah yang difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar’. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Ketika itulah, (syaithan-syaithan) penyadap berita (wahyu) mendengarnya. Keadaan penyadap berita itu seperti ini: Sebagian mereka di atas sebagian yang lain -digambarkan Sufyan dengan telapak tangannya, dengan direnggangkan dan dibuka jari-jemarinya- maka ketika penyadap berita (yang di atas) mendengar kalimat (firman) itu, disampaikanlah kepada yang di bawahnya, kemudian disampaikan lagi kepada yang ada di bawahnya, dan demikian seterusnya hingga disampaikan ke mulut tukang sihir atau tukang ramal. Akan tetapi kadangkala syaithan penyadap berita itu terkena syihab (panah api) sebelum sempat menyampaikan kalimat (firman) tersebut, dan kadang kala sudah sempat menyampaikannya sebelum terkena syihab; dengan satu kalimat yang didengarnya itulah, tukang sihir atau tukang ramal meIakukan seratus macam kebohongan. Mereka (yang mendatangi tukang sihir atau tukang ramal) mengatakan: ‘Bukankah dia telah memberitahu kita bahwa pada hari anu akan terjadi anu (dan itu terjadi benar)’, sehingga dipercayalah tukang sihir atau tukang ramal tersebut karena satu kalimat yang telah didengar dari Iangit.” (HR. Al Bukhori).

Ilmu Ghoib Hanya Milik Alloh

Akhirnya kita mengetahui bahwa ilmu para dukun dan konco-konconya hanyalah berasal dari syaithan, si pencuri berita langit. Sebelum sampai kepada para dukun, syaithan telah menambah kedustaan-kedustaan di dalamnya. Berita atau informasi yang ia sampaikan terkadang bisa benar dan lebih banyak salahnya. Ditambah lagi dengan berbagai macam bumbu-bumbu kebohongan oleh sang dukun, seperti pemenuhan syarat-syarat supaya lebih terkesan ‘meyakinkan’. Tapi anehnya masih banyak juga orang yang mendatangi dukun atau yang sejenisnya untuk bertanya perkara-perkara ghoib, yang dukun itu sendiri tidak mengetahuinya. Kalau kita mau berpikir sedikit kritis, siapakah yang mengabarkan kepada para dukun berita-berita seputar nasib seseorang, mencari barang yang hilang? Apakah Alloh mewahyukan kepadanya? Ataukah Jibril mendatanginya? “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh’, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (Qs. An Naml: 65)

Renungkanlah!

Manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima sesuatu yang bathil. Buktinya, bagaimana mereka bisa bersandar hanya kepada satu kebenaran saja yang diucapkan tukang ramal, tanpa memperhitungkan atau mempertimbangkan seratus kebohongan yang disampaikannya? Oleh karena itu serahkanlah segala urusan kepada pemiliknya. Segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Alloh. Jika kita ditimpa musibah kehilangan sesuatu yang amat kita cintai, maka jangan mendatangi para dukun apalagi paranormal. Tapi kembalikanlah kepada Alloh. “Dan hanya kepada Alloh dikembalikan segala urusan.” (Qs. Al Baqoroh: 210). Yakinlah, Alloh akan mengganti dengan yang lebih baik. Insya Alloh.

***

Penulis: Nurdin Abu Yazid
sumber: www.muslim.or.id

Senin, 23 Juni 2008

Nawaqidul Wudhu

Masih berkaitan dengan masalah fikih. Kali ini kita akan berusaha mengambil manfaat dari artikel tentang pembatal-pembatal wudhu'. Sudahkah kita mengetahui satu-persatu? berikut ini pembahasannya. Semoga bermanfaat.

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?

Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.

Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits no. 225)

Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)

Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)

Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)

Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu ‘alam.

Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)

Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”

Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)

Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?

Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan. Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang pingsan.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?

Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:

Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah, hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)

“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)

Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”

Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)

Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)

Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inilah yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.

Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?

Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)

Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang berpendapat seperti ini sebagai berikut:

Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah:

“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)

Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)

Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?

Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.

Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)

Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)

Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”

Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats hingga berwudhu.” (Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits no. 225)

Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?

Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia perbuat, termasuk jika ia berhadats).

Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah.

***

Sumber: Majalah Fatawa
dinuki dari: www.muslim.or.id

Binatang Pemakan Bangkai dan Jallalah

Masalah makanan halal memang harus menjadi perhatian bagi setiap muslim, karena apa yang kita makan akan berpengaruh terhadap aktifitas hidup kita termasuk sebagai sebab tidak terkabulnya do'a kita jika yang kita makan adalah makanan yang haram. Oleh karena itu, dalam artikel berikut ini akan dibahas sebagian jenis makanan binatang apakah termasuk makanan yang boleh dimakan atau tidak. Tentunya pembahasan ini didasarkan pada alqur'an dan as-sunnah dengan pemahaman yang benar, yang sesuai dengan pemahaman para salafus-sholeh. Artikel ini kami ambil dari web: www.muslim.or.id , semoga bernfaat.

Pada pembahasan kali ini kita membahas tentang burung pemakai bangkai dan hukum memakan dagingnya.

Pengertian Burung Pemakan Bangkai

Burung Pemakai Bangkai adalah Burung yang menjadikan bangkai sebagai makanan pokoknya, seperti burung Nasar dan sebagian jenis gagak.

Hukum Memakan Dagingnya

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini antara yang membolehkan dan yang mengharamkannya. Ulama yang membolehkan yaitu madzhab Malikiyah berdalil kepada pengertian firman Allah:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am:145)

Ayat ini -menurut pendapat ini- membatasi yang diharamkan hanyalah yang terkandung dalam ayat tersebut. Sedangkan hewan pemakan bangkai tidak termasuk dalam ayat ini, sehinga halal dimakan.

Sedangkan yang mengharamkannya yaitu mazhab Hambaliyah dan Hanafiyah memberikan alasan pengharamannya adalah karena makanannya yang buruk, lalu keburukan tersebut menjalar kepada dagingnya padahal Allah melarang kita memakan yang buruk-buruk (Khobaits), sebagaimana firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf:157)

Demikian juga Rasulullah memerintah untuk membunuh lima binatang perusak baik di tanah suci atau di luarnya, di antaranya: Gagak yang memakan bangkai, sehingga dikiaskan (dianalogikan) kepadanya semua burung yang memiliki kesamaan dalam sifat ini. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan membunuhnya di tanah suci dan tidak boleh membunuh hewan buruan yang dimakan di tanah suci, maka kebolehan membunuhnya ini menunjukkan pengharamannya.

Ada yang membantah bahwa perintah membunuh hewan-hewan tersebut di tanah suci disebabkan tindakan preventif mencegah mereka menyerang manusia. Jelas semua yang berbahaya di tanah haram harus dibunuh, walaupun dia binatang yang halal dimakan. Sehingga berdalil dengan hal ini untuk pengharaman binatang pemakan bangkai sangat lemah sekali. Namun masih tetap diharamkan dengan sebab buruknya makanan binatang tersebut.

Pendapat yang Rojih

Syaikh Sholeh Al Fauzan salah seorang anggota majelis ulama besar Saudi Arabia merojihkan pendapat yang mengharamkannya. Beliau menyatakan: Keumuman nash-nash yang berisi perintah Allah kepada hambanya untuk memakan yang baik-baik dan melarang mereka memakan yang buruk-buruk dengan hadits larangan memakan hewan Jallalaah (Akan dibahas Insya Allah dalam halal dan haram edisi mendatang) menunjukkan pengharaman hewan pemakan bangkai. Hal ini karena daging hewan yang memakan bangkai tumbuh dari barang haram, sehingga menjadi buruk dan masuk dalam keumuman memakan barang-barang yang buruk. Juga hal ini menjadi pengkhususan pengertian ayat yang dijadikan pegangan madzhab Malikiyah. (pengkhususan ini) karena telah ada pengharaman banyak hal setelah turunnya ayat ini. Allah telah menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk-buruk dan Nabi pun telah mengharamkan binatang buas bertaring dan burung berkuku mencengkeram juga melarang daging keledai pada perang Khaibar. Yang menegaskan kebenaran hal ini adalah ijma’ tentang pengharaman (memakan) kotoran dan kencing (manusia), serangga kotor dan keledai yang semuanya tidak disebutkan dalam ayat tersebut (Kitabul Ath’imah hal. 73).

Demikianlah pendapat yang rojih karena telah dijelaskan terdahulu bahwa makanan memiliki pengaruh pada daging yang tumbuh darinya. Sehingga dengan demikian tidak ada kekuatan dalil orang yang memperbolehkan memakan hewan pemakan bangkai. Mudah-mudahan bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

Senin, 16 Juni 2008

Kesalahan-Kesalahan Makmum Dalam Shalat

Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari sholat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antar jamaah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tatacara sholat maka jamaah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rohmat yang Alloh turunkan kepada umat ini lewat syariat sholat berjamaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktek sholat berjamaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.

Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shof

Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya, “Sebaik-baik shof bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shof yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shof yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR. Muslim). Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shof yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan: “Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang”.

Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shof. Rosululloh bersabda yang artinya, “Luruskan shof-shof kalian, karena lurusnya shof termasuk kesempurnaan sholat.” (HR. Bukhori Muslim)

Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Alloh merubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhori, Muslim)

“Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan.” (HR. Thobroni dengan status hasan)

Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku’ maka ruku’-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian.” (HR. Al Bukhori). Dari hadits ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.

Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbirotul Ihrom

Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum sholat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Sami’na wa ‘Atho’na ketika mendengar perintah untuk meluruskan shof dari imam: Sawwuu shufuufakum! Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tatacara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.

Sibuk Dengan Sholat Sunah Padahal Telah Iqomah

Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan sholat nafilah/sunnah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai sholat sunnah baru dan tidak bergabung dengan sholat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib.” (HR. Muslim)

Menarik Orang Lain di Shof Depannya Untuk Membuat Shof Baru

Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadits yang yang shohih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shof yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia sholat sendiri di shof yang baru, dan sholatnya dianggap sah karena Alloh tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Maudu’at). Wallohu A’lam.

***

Penulis: Abu ‘Abdillah R. Agus Hermawan
dinukil dari: www.muslim.or.id

Selasa, 10 Juni 2008

74 Wasiyat Untuk Para Pemuda

Berikut ini adalah wasiat islami yang berharga dalam berbagai aspek seperti ibadah, muamalah, akhlak, adab dan yang lainnya dari sendi-sendi kehidupan. Kami persembahkan wasiat ini sebagai peringatan kepada para pemuda muslim yang senantiasa bersemangat mencari apa yang bermanfaat baginya, dan sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Artikel ini diambil dari buletin berjudul 75 Washiyyah li Asy-Syabab terbitan Daarul Qashim Riyadl
Segala puji bagi Allah yang berfirman:“Dan sungguh Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.” (An-Nisa’: 131)

Serta shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad yang bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah , serta agar kalian mendengar dan patuh.”
Dan takwa kepada Allah adalah mentaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Wa ba’du:

Berikut ini adalah wasiat islami yang berharga dalam berbagai aspek seperti ibadah, muamalah, akhlak, adab dan yang lainnya dari sendi-sendi kehidupan. Kami persembahkan wasiat ini sebagai peringatan kepada para pemuda muslim yang senantiasa bersemangat mencari apa yang bermanfaat baginya, dan sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan hal ini bermanfaat bagi orang yang membacanya ataupun mendengarkannya. Dan agar memberikan pahala yang besar bagi penyusunnya, penulisnya, yang menyebarkannya ataupun yang mengamalkannya. Cukuplah bagi kita Allah sebaik-baik tempat bergantung.

1. Ikhlaskanlah niat kepada Allah dan hati-hatilah dari riya’ baik dalam perkataan ataupun perbuatan.

2. Ikutilah sunnah Nabi dalam semua perkataan, perbuatan, dan akhlak.

3. Bertaqwalah kepada Allah dan ber’azamlah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

4. Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuha dan perbanyaklah istighfar.

5. Ingatlah bahwa Allah senatiasa mengawasi gerak-gerikmu. Dan ketahuilah bahwa Allah melihatmu, mendengarmu dan mengetahui apa yang terbersit di hatimu.

6. Berimanlah kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta qadar yang baik ataupun yang buruk.

7. Janganlah engkau taqlid (mengekor) kepada orang lain dengan buta (tanpa memilih dan memilah mana yang baik dan yang buruk serta mana yang sesuai dengan sunnah/syari’at dan mana yang tidak). Dan janganlah engkau termasuk orang yang tidak punya pendirian.

8. Jadilah engkau sebagai orang pertama dalam mengamalkan kebaikan karena engkau akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikuti/mencontohmu dalam mengamalkannya.

9. Peganglah kitab Riyadlush Shalihin, bacalah olehmu dan bacakan pula kepada keluargamu, demikian juga kitab Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim.

10. Jagalah selalu wudlu’mu dan perbaharuilah. Dan jadilah engkau senantiasa dalam keadaan suci dari hadats dan najis.

11. Jagalah selalu shalat di awal waktu dan berjamaah di masjid terlebih lagi sahalat ‘Isya dan Fajr (shubuh).

12. Janganlah memakan makanan yang mempunyai bau yang tidak enak seperti bawang putih dan bawang merah. Dan janganlah merokok agar tidak membahayakan dirimu dan kaum muslimin.

13. Jagalah selalu shalat berjamaah agar engkau mendapat kemenangan dengan pahala yang ada pada shalat berjamaah tersebut.

14. Tunaikanlah zakat yang telah diwajibkan dan janganlah engkau bakhil kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

15. Bersegeralah berangkat untuk shalat Jumat dan janganlah berlambat-lambat sampai setelah adzan kedua karena engkau akan berdosa.

16. Puasalah di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar Allah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu ataupun yang akan datang.

17. Hati-hatilah dari berbuka di siang hari di bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i sebab engkau akan berdosa karenanya.

18. Tegakkanlah shalat malam (tarawih) di bulan Ramadhan terlebih-lebih pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar engkau mendapatkan ampunan atas dosa-dosamu yang telah lalu.

19. Bersegeralah untuk haji dan umrah ke Baitullah Al-Haram jika engkau termasuk orang yang mampu dan janganlah menunda-nunda.

20. Bacalah Al-Qur’an dengan mentadaburi maknanya. Laksanakanlah perintahnya dan jauhi larangannya agar Al-Qur’an itu menjadi hujjah bagimu di sisi rabmu dan menjadi penolongmu di hari qiyamat.

21. Senantiasalah memperbanyak dzikir kepada Allah baik perlahan-lahan ataupun dikeraskan, apakah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring. Dan hati-hatilah engkau dari kelalaian.

22. Hadirilah majelis-majelis dzikir karena majelis dzikir termasuk taman surga.

23. Tundukkan pandanganmu dari aurat dan hal-hal yang diharamkan dan hati-hatilah engkau dari mengumbar pandangan, karena pandangan itu merupakan anak panah beracun dari anak panah Iblis.

24. Janganlah engkau panjangkan pakaianmu melebihi mata kaki dan janganlah engkau berjalan dengan kesombongan/keangkuhan.

25. Janganlah engkau memakai pakaian sutra dan emas karena keduanya diharamkan bagi laki-laki.

26. Janganlah engkau menyeruapai wanita dan janganlah engkau biarkan wanita-wanitamu menyerupai laki-laki.

27. Biarkanlah janggutmu karena Rasulullah: “Cukurlah kumis dan panjangkanlah janggut.” (HR. Bukhari Dan Muslim)

28. Janganlah engkau makan kecuali yang halal dan janganlah engkau minum kecuali yang halal agar doamu diijabah.

29. Ucapkanlah bismillah ketika engkau hendak makan dan minum dan ucapkanlah alhamdulillah apabila engkau telah selesai.

30. Makanlah dengan tangan kanan, minumlah dengan tangan kanan, ambillah dengan tangan kanan dan berilah dengan tangan kanan.

31. Hati-hatilah dari berbuat kezhaliman karena kezhaliman itu merupakan kegelapan di hari kiamat.

32. Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin dan janganlah dia memakan makananmu kecuali engkau dalam keadaan bertaqwa (dengan ridla dan memilihkan makanan yang halal untuknya).

33. Hati-hatilah dari suap-menyuap (kolusi), baik itu memberi suap, menerima suap ataupun perantaranya, karena pelakunya terlaknat.

34. Janganlah engkau mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah karena Allah akan murka kepadamu.

35. Ta’atilah pemerintah dalam semua perintah yang sesuai dengan syari’at dan doakanlah kebaikan untuk mereka.

36. Hati-hatilah dari bersaksi palsu dan menyembunyikan persaksian.

“Barangsiapa yang menyembunyikan persaksiannya maka hatinya berdosa. Dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 283)
37. “Dan ber amar ma’ruf nahi munkarlah serta shabarlah dengan apa yang menimpamu.” (Luqman: 17)
Ma’ruf adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya , dan munkar adalah apa-apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.

38. Tinggalkanlah semua hal yang diharamkan baik yang kecil ataupun yang besar dan janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dan janganlah membantu seorangpun dalam bermaksiat kepada-Nya.

39. Janganlah engkau dekati zina. Allah berfirman: “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah kekejian dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra’:32)

40. Wajib bagimu berbakti kepada orang tua dan hati-hatilah dari mendurhakainya.

41. Wajib bagimua untuk silaturahim dan hati-hatilah dari memutuskan hubungan silaturahim.

42. Berbuat baiklah kepada tetanggamu dan janganlah menyakitinya. Dan apabila dia menyakitimu maka bersabarlah.

43. Perbanyaklah mengunjungi orang-orang shalih dan saudaramu di jalan Allah.

44. Cintalah karena Allah dan bencilah juga karena Allah karena hal itu merupakan tali keimanan yang paling kuat.

45. Wajib bagimu untuk duduk bermajelis dengan orang shalih dan hati-hatilah dari bermajelis dengan orang-orang yang jelek.

46. Bersegeralah untuk memenuhi hajat (kebutuhan) kaum muslimin dan buatlah mereka bahagia.

47. Berhiaslah dengan kelemahlembutan, sabar dan teliti. Hatilah-hatilah dari sifat keras, kasar dan tergesa-gesa.

48. Janganlah memotong pembicaraan orang lain dan jadilah engkau pendengar yang baik.

49. Sebarkanlah salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak engkau kenal.

50. Ucapkanlah salam yang disunahkan yaitu assalamualaikum dan tidak cukup hanya dengan isyarat telapak tangan atau kepala saja.

51. Janganlah mencela seorangpun dan mensifatinya dengan kejelekan.

52. Janganlah melaknat seorangpun termasuk hewan dan benda mati.

53. Hati-hatilah dari menuduh dan mencoreng kehormatan oarng lain karena hal itu termasuk dosa yang paling besar.

54. Hati-hatilah dari namimah (mengadu domba), yakni menyampaikan perkataan di antara manusia dengan maksud agar terjadi kerusakan di antara mereka.

55. Hati-hatilah dari ghibah, yakni engkau menceritakan tentang saudaramu apa-apa yang dia benci jika mengetahuinya.

56. Janganlah engkau mengagetkan, menakuti dan menyakiti sesama muslim.

57. Wajib bagimu melakukan ishlah (perdamaian) di antara manusia karena hal itu merupakan amalan yang paling utama.

58. Katakanlah hal-hal yang baik, jika tidak maka diamlah.

59. Jadilah engkau orang yang jujur dan janganlah berdusta karena dusta akan mengantarkan kepada dosa dan dosa mengantarakan kepada neraka.

60. Janganlah engkau bermuka dua. Datang kepada sekelompok dengan satu wajah dan kepada kelompok lain dengan wajah yang lain.

61. Janganlah bersumpah dengan selain Allah dan janganlah banyak bersumpah meskipun engkau benar.

62. Janganlah menghina orang lain karena tidak ada keutamaan atas seorangpun kecuali dengan taqwa.

63. Janganlah mendatang dukun, ahli nujum serta tukang sihir dan jangan membenarkan (perkataan) mereka.

64. Janganlah menggambar gambar manuasia dan binatang. Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah tukang gambar.

65. Janganlah menyimpan gambar makhluk yang bernyawa di rumahmu karena akan menghalangi malaikat untuk masuk ke rumahmu.

66. Tasymitkanlah orang yang bersin dengan membaca: yarhamukallah apabila dia mengucapkan: alhamdulillah

67. Jauhilah bersiul dan tepuk tangan.

68. Bersegeralah untuk bertaubat dari segala dosa dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan karena kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan hati-hatilah dari menunda-nunda.

69. Berharaplah selalu akan ampunan Allah serta rahmat-Nya dan berbaik sangkalah kepada Allah .

70. Takutlah kepada adzab Allah dan janganlah merasa aman darinya.

71. Bersabarlah dari segala mushibah yang menimpa dan bersyukurlah dengan segala kenikamatan yang ada.

72. Perbanyaklah melakukan amal shalih yang pahalanya terus mengalir meskipun engkau telah mati, seperti membangun masjid dan menyebarakan ilmu.

73. Mohonlah surga kepada Allah dan berlindunglah dari nereka.

74. Perbanyaklah mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah.
Shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepadanya sampai hari kiamat juga kepada keluarganya dan seluruh shahabatnya.

(Diterjemahkan dari buletin berjudul 75 Washiyyah li Asy-Syabab terbitan Daarul Qashim Riyadl-KSA oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR LALAT


Semua kita pasti tahu, apa itu lalat! Ya, ia seekor makhluk Allah subhanahu wata'aala yang dikenal suka hinggap di tempat-tempat yang jorok dan banyak membawa penyakit/kuman. Sekalipun begitu, ia ada disebutkan di dalam al-Qur`an dan juga hadits nabawi. Lantas, apa keistimewaannya, sehingga Allah subhanahu wata'aala menyebut dan menyinggungnya? Adakah hikmah di balik itu? Bagaimana kedudukannya di dalam hadits nabi shallallahu 'alahi wasallam? Adakah pernyataan ilmiah yang menunjukkan keistimewaannya? Melalui halaman yang singkat ini, Insya Allah subhanahu wata'aala kita akan menyinggung secara ringkas tema-tema tersebut.

Lalat di Dalam al-Qur`an

Lalat yang di dalam bahasa Arabnya, "adz-Dzubab" disinggung dalam satu ayat, yaitu ayat 73, surah al-Hajj. Allah subhanahu wata'aala berfirman, artinya, "Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun. Walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah." (QS.al-Hajj:73)

Dalam ayat ini terdapat seruan agar bertauhid kepada Allah subhanahu wata'aala dan kecaman terhadap kesyirikan dan orang-orang Musyrik. Sebagaimana dinyatakan Ibn Katsir rahimahullah dalam ayat ini Allah subhanahu wata'aala mengingatkan betapa hina-dinanya berhala-berhala itu dan betapa piciknya akal para penyembahnya.

Apa yang disembah orang-orang jahil dan musyrik itu diberi perumpamaan dengan sesuatu yang hina, yaitu seekor lalat. Bahwa sekalipun semua sesembahan mereka yang berupa berhala-berhala dan patung-patung itu berkumpul untuk menciptakan seekor lalat saja, benda-benda mati itu tidak akan pernah mampu melakukannya. Padahal apalah arti seekor lalat; makhluk yang sangat hina dan jorok. Bahkan, jangankan menciptakan, bila ada seekor lalat merampas sesuatu dari tubuhnya, berhala-berhala itu tak mampu untuk melindungi diri sendiri. Jadi alangkah lemah dan hinanya berhala-berhala itu, bilamana seekor lalat yang dikenal lemah dan jorok justeru lebih kuat darinya. Karena itu, keduanya sama-sama lemah, baik lalat maupun berhala-berhala itu.

Syaikh Abu Bakar al-Jaza`iri mengatakan, “Dibuatnya permisalan dengan seekor lalat itu merupakan sesuatu yang baik dalam bahasa Arab, karena dapat lebih mendekatkan kepada pemahaman.”

Allah subhanahu wata'aala menyebutkan sesuatu di dalam al-Qur`an bukan asal sebut. Pasti ada nilai lebih dari apa yang disebutkan itu. Contohnya, Allah subhanahu wata'aala banyak bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya seperti matahari, waktu Dhuha, dan seterusnya. Itu semua karena apa yang dijadikan objek sumpah itu memiliki nilai lebih di sisi Allah subhanahu wata'aala. Dan terbukti secara ilmiah kemanfaatannya bagi alam semesta ini, tak terkecuali penyebutan seekor lalat.

Lalat di Dalam Hadits Nabi shallallahu 'alahi wasallam

Bilamana di dalam al-Qur`an hanya disebutkan dalam satu ayat saja, maka di dalam hadits nabi shallallahu 'alahi wasallam penyebutannya lebih banyak. Salah satunya, terkait dengan adanya 'dualisme' dalam diri lalat itu. Artinya, di satu sisi pada dirinya itu terdapat racun, namun di sisi yang lain justru sebagai penawarnya alias pada kedua sayapnya.

Di antara hadits-hadits itu adalah sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Jika lalat terjatuh di minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah ia, kemudian lepaskanlah (buanglah), karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lainnya terdapat obat (penawar)." (HR. al-Bukhari)

Hadits mengenai hal ini cukup banyak dan dipaparkan dengan redaksi yang hampir mirip.

Sepintas, hadits ini bagi kelompok yang berlebihan dalam mengkultuskan akal, seperti kelompok Mu'tazilah dan para Orientalis, hadits ini dianggap irrasional (tidak masuk akal). Sebab menurut akal mereka, bagaimana mungkin dapat diterima kenyataan bahwa lalat yang menjijikkan itu memiliki penyakit (racun) sekaligus obat (penawar). Apalagi bila ia terjatuh pada minuman, maka harus dibenamkan semua badannya agar minuman tersebut dapat dikonsumsi lagi dan tidak membahayakan. Sungguh menjijikkan.!!

Tetapi realitasnya, hadits tersebut dari sisi kualitasnya adalah hadits yang shahih. Karena itu, tidak ada tempat dan alasan untuk menolaknya, sebab yang mengucapkannya adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wasallam yang tidak mengatakan sesuatu kecuali berdasarkan wahyu Allah subhanahu wata'aala (QS. an-Najm:3).

Bagi orang beriman, bilamana telah terbukti secara valid dan kuat keshahihan kualitas suatu hadits, maka terlebih dulu ia harus meyakini kebenarannya, terlepas apakah ada hikmah di balik itu ataukah tidak! Hadits ini termasuk mukjizat Nabi shallallahu 'alahi wasallam dari sisi ilmiah. Lalu, apakah memang terbukti secara ilmiah demikian.?

Pernyataan Ilmiah Tentang Lalat

Seiring dengan perkembangan zaman dan majunya dunia ilmu pengetahuan, tampak jelaslah kebenaran hadits Nabi shallallahu 'alahi wasallam tentang lalat. Dalam hal ini, dunia kedokteran berhasil membuktikan keilmiahan ucapan Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam itu.

Prof.DR.Amin Ridha menjelaskan beberapa poin tentang kenyataan tersebut, di antaranya, "… Ketiga, tidak benar kalau dikatakan bahwa dunia kedokteran belum pernah mengadakan pengobatan suatu penyakit dengan menggunakan lalat. Lalat pernah digunakan sebagai obat bagi penyakit borok menahun dan paru (Frambosia Tropica), yang terjadi pada 30 tahun pertama abad ke-20, sebelum struktur kimia sulfa ditemukan.

Untuk keperluan itu, lalat dipelihara secara khusus. Penemuan membuktikan bahwa lalat mengandung virus pembunuh kuman (bakterial). Dari penelitian itu ditemukan, bahwa lalat di samping membawa kuman-kuman penyakit, ia juga membawa bakterial yang membunuh kuman-kuman. Penelitian ini terhenti karena di saat yang bersamaan, ditemukan struktur kimia sulfa.

Keempat, Hadits tentang lalat menginformasikan adanya sejenis racun pada lalat. Kenyataan ini baru ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern dua abad belakangan. Sebelumnya, bisa jadi orang tidak mempercayai kebenaran hadits tentang lalat ini. Jika sudah ditemukan bahwa lalat selain membawa penyakit, ia juga mengandung bakterial pembunuh kuman, maka ada beberapa hal yang perlu diketahui:

Tidak benar, kuman yang dibawa lalat berbahaya dan menyebabkan berbagai penyakit.

Tidak benar, banyaknya kuman yang dibawa oleh lalat cukup untuk menimbulkan penyakit bagi orang yang menelan kuman itu.

Tidak benar, tubuh manusia dapat terhindar sama sekali dari semua kuman berbahaya. Kalau seandainya begitu, justeru itulah yang sangat berbahaya bagi manusia. Sebab jika tubuh manusia berulang-ulang kemasukan kuman yang berbahaya dalam jumlah sedikit, maka kuman akan menjadi daya tahan terhadap kuman-kuman sejenisnya. Hadits tersebut memberikan informasi penting adanya kuman pada lalat, yang berlawanan dengan racun yang dibawanya. Ini membuktikan bahwa bakteri, virus dan kuman sejenisnya saling berperang dan saling mematikan; yang satu membunuh yang lain dengan jalan mengeluarkan zat beracun. Zat beracun ini yang kemudian digunakan sebagai bahan pengobatan yang lazim disebut antibiotika, seperti: Penicilin dan Cloromicitin. Dan ini bukan saja ada pada lalat, hampir semua binatang berbisa ternyata bisanya itu malah menjadi penyembuh, jika dijadikan sebagai obat. Segala sesuatu yang belum ditemukan dan belum diteliti oleh ilmu pengetahuan jangan diramalkan. Tetapi penelitian harus dilakukan selengkap dan sesempurna mungkin dan tidak boleh dihentikan. Oleh karena itu, merupakan tindakan yang salah jika tergesa-gesa menilai ketidakrasionalan hadits tentang lalat ini tanpa bukti dari hasil penelitian ilmiah modern."

Perlu diketahui, lalat hinggap pada barang-barang yang dipenuhi kuman-kuman, yang dapat menim-bulkan berbagai macam penyakit. Sebagian kuman itu berpindah
ke organ tubuh lalat, dan sebagian lainnya dimakan. Dari kuman-kuman ini terbentuk unsur toxine di dalam tubuhnya, yang menurut istilah medis disebut antibakteria. Dialah yang bertugas membunuh berbagai kuman penyakit. Kuman-kuman penyakit ini tidak mungkin bertahan hidup atau mempengaruhi tubuh manusia, selagi masih ada antibakteria, khususnya pada salah satu sayap lalat.

Karenanya, ia mampu mengarahkan bakteri ke arahnya, maka jika ada lalat yang jatuh pada makanan atau minuman, lalu kuman yang menempel pada sebagian organ tubuhnya berpindah ke makanan atau minuman, maka antibakteria yang juga dibawa lalat pada salah satu sayapnya akan bekerja membunuh kuman. Bila di sana ada penyakit, maka obatnya juga tidak akan jauh dari penyakit itu. Maka lalat tersebut dapat dibenamkan secara keseluruhan, baru kemudian dibuang. Hal ini sudah cukup untuk membunuh kuman yang dibawa lalat dan akan merusak kerja kuman tersebut. Selain itu, lalat bisa menyuburkan pembenihan kuman beberapa penyakit. Setelah beberapa saat kuman itu pun mati dan pengaruhnya tidak tampak. Kemudian dalam lalat itu terbentuk unsur yang membunuh kuman-kuman yang dinamakan anti-bakteria. Apabila inti lalat diletakkan pada larutan yang bersih, maka akan diketahui empat macam kuman yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, namun ada pula empat macam unsur yang mampu membunuh empat macam kuman itu, wallahu a'lam.

(Sumber: a. Tafsir Ibn Katsir, b. Aysar at-Tafasir karya Abu Bakar al-Jaza`iri, c. Majalah at-Tauhid,Vol.V, 1977; Musykilat al-Ahadits an-Nabawiyyah karya Abdullah Ibn Al Najdi al-Qushaimi [seperti dinukil dari makalah oleh Helmy Yusuf]) Abu Hafshoh

sumber: www.alsofwah.or.id

Realita dan Ilmu Fiqih

Sudah seharusnya seorang muslim memahami realita dan penerapan ilmu fiqih dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman yang benar. Karena banyaknya perubahan, perkembangan dan hal-hal baru dalam setiap aspek kehidupan. Mari kita simak pembahasan tentang metode ilmiyyah dalam menyikapi hal tersebut yang ditulis oleh ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A, kandidat doktor dari Universitas Islam Madinah, KSA, yang dinukil dari web: www.muslim.or.id. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

الحمد لله والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه واستن بسنته إلى يوم الدين، أما بعد

Adalah sebuah kebahagian dan kenikmatan yang harus disyukuri, disaat seseorang mendapatkan taufiq dari Allah untuk menempuh jalan menuntut ilmu. Banyak dalil-dalil, baik ayat maupun hadits yang menunjukkan akan keutamaan amalan ini, diantaranya sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam:

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة. رواه مسلم

Artinya:

“Barang siapa yang menempuh jalan guna menimba ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya, berkat amalan ini jalan menuju ke surga.” (HSR. Muslim)

Pada kesempatan ini, saya hendak mengingatkan diri saya dan rekan-rekan saya akan sebuah hal yang mungkin dilalaikan oleh sebagian orang. Hal ini dikarenakan adanya sikap trauma dari hal ini, akibat dari penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian ahlil bid’ah dalam memahaminya. Oleh karena itu, saya anggap perlu hal ini didudukkan dan diluruskan, semoga tidak terjadi sikap-sikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam ilmu syari’at. Hal ini adalah yang dinamakan dengan realita atau waqi’.

Realita atau yang disebut dalam bahasa arab dengan waqi’ merupakan hal penting dalam kehidupan seorang ulama’ dan thullabul ilmi, agar benar-benar ilmu yang kita peroleh berguna bagi kita dan juga masyarakat kita, hal ini disebabkan beberapa faktor berikut:

  1. Setiap nama dalam syari’at, adalah merupakan hakikat syar’iyyah (istilah syar’i), sehingga tidak cukup untuk memahaminya hanya dengan ditilik dari sisi bahasa, akan tetapi harus difahami sesuai dengan definisi kata tersebut dalam syari’at, dan ulama’ islam dengan berbagai disiplin ilmu telah menjelaskan makna setiap istilah tersebut. Realita ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan pembahasan الحقيقة الشرعية واللغوية.
  2. Banyak hukum dalam syari’at yang didasari oleh adat istiadat.
  3. Banyaknya perubahan, perkembangan dan hal-hal baru dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yang lebih terkenal dengan masalah-masalah kontemporer. Sehingga kita tidak akan dapat mengetahui hukum syari’at dalam masalah-masalah tersebut, kecuali setelah kita memahami realita dan permasalahan yang serupa dengannya dalam fiqih ulama’ terdahulu (tashwir fiqhy & tanzilul fiqhy).
  4. Kesempurnaan sulit dicapai.

Inilah yang saya maksud dengan realita atau waqi’, bukan seperti yang didengung-dengungkan oleh ahlul bid’ah, karena yang mereka maksudkan dengan realita atau waqi’ tak lain hanya sekedar mengetahui permasalahan politik, dan kesalahan-kesalahan pemerintah. Mereka melakukannya dengan cara mengikuti dan mempercayai berita-berita yang ada di koran-koran, stasiun televisi, radio internet, dll. Maka hendaknya orang yang membaca tulisan saya ini senantiasa memperhatikan maksud saya ini.

Pada kesempatan ini, penulis hendak mengajak rekan-rekan semua untuk sedikit merenungkan keempat faktor ini, kemudian mengetahui metode ilmiyyah dalam menghadapi setiap faktor:

Hakikat Syar’iyyah dan Hakikat Lughowiyyah

Yang dimaksud dengan hakikat syar’iyyah adalah setiap kata yang digunakan dalam syari’at, dan memiliki kandungan makna tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan hakikat lughowiyyah, adalah makna setiap kata dalam bahasa. (Lihat Raudhotun Nadlir 2/10, Irsyadul fuhul 1/112).

Sebagai contoh: Kata (الصلاة), dalam kamus-kamus bahasa, kata ini bermaknakan: doa’ akan tetapi dalam syari’at bermaknakan lain, yaitu sebuah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. (Lihat As Syarhul Mumti’ 2/5).

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa setiap kata dalam syari’at, harus diartikan sesuai dengan hakikat syar’iyyah, kecuali bila ada qorinah (alasan) yang menjadikannya harus diartikan sesuai dengan makna kata tersebut dalam bahasa arab. (Lihat Raudhotun Nadlir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113)

Hal ini jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits:

عن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: ليشربن ناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها. رواه أبو داود، وله شواهد كثيرة.

“Dari Abu Malik Al ‘Asy’ari, rodiallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh akan ada sekelompok orang dari ummatku yang minum khomer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya’.” (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid)

Kalo kita lihat dalam kamus-kamus bahasa arab, kita akan dapatkan bahwa yang dinamakan khomer secara bahasa, adalah perasan (jus) anggur yang memabokkan. Sehingga kalo kita memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan khomer hanya berdasarkan pemahaman bahasa, maka kita akan katakan bahwa jus selain anggur bukan khomer, walaupun memabokkan.

Oleh karena itu, banyak orang (tholabatul ilmi) yang mengharamkan minuman memabokkan yang terbuat dari selain anggur, dengan dalil qiyas. Padahal kalo kita memahami kata khomer secara istilah syar’i, kita tidak perlu terhadap dalil qiyas dalam mengharamkan minuman tersebut. Sebagai buktinya, mari kita simak dan renungkan hadits berikut:

عن بن عمر رضي اله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (كل مسكر خمر وكل مسكر حرام). رواه مسلم

“Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan adalah haram.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Abi Malik Al ‘Asy’ary di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting:

  1. Kata khomer dalam syari’at memiliki makna khusus, sehingga setiap minuman yang terdapat padanya makna tersebut, dinamakan khomer, walaupun masyarakat menamakannya dengan nama lain.
  2. Bahwa yang menjadi pedoman (manathul hukmi) dalam menghukumi suatu masalah adalah hakikatnya (realita), bukan sekedar penamaan.
  3. Hakikat khomer dalam syari’at tidak berubah hanya sekedar perubahan nama, atau dengan kata lain, nama tidak dapat merubah hakikat.
  4. Ketiga hal di atas berlaku pula pada kata-kata (istilah-istilah) lain dalam syari’at, misalnya: riba, mudhorobah, mubtadi’, kafir, fasik, mukmin, muhsin, zakat, dll.

Sebagai contoh lain, mari kita simak ayat berikut:

وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر

“Dan makan dan minumlah kamu hingga menjadi jelas bagimu (perbedaan) benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah: 187)

Al Bukhori meriwayatkan dari sahabat Sahel bin Sa’ad rodiallahu ‘anhu:

قـال أنـزلت : وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود . ولـم ينـزل: من الفجر ,فكان رجال إذا أرادوا الصوم، ربط أحدهم في رجله الخيط الأبيض والخيط الأسود، ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما، فأنـزل الله بعد :من الفجر ، فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار.

“Tatkala Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam’ dan belum menurunkan firman-Nya ‘Yaitu fajar’, sehingga sebagian orang apabila hendak berpuasa, ia mengikatkan di kakinya benang putih dan benang hitam. Dan ia terus makan, hingga telah terlihat dengan jelas baginya kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya ‘yaitu fajer’, sehingga mereka mengetahui bahwa yang dimaksud ialah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang.”

Dan dalam riwayat lain, dari sahabat Adi rodiallahu ‘anhu, ia berkata:

قال أخذ عدي عقالا أبيض وعقالا أسود، حتى كان بعض الليل، نظر فلم يستبينا، فلما أصبح قال: يا رسول الله، جعلت تحت وسادي، قال: إن وسادك إذا لعريض إن كان الخيط الأبيض والأسود تحت وسادتك. رواه الشيخان واللفظ للبخاري

“Adi mengambil tali putih dan tali hitam, dan pada tengah malam, ia melihat kepada (keduanya), dan keduanya tidak jelas olehnya. Kemudian tatkala esok hari, ia (bertanya kepada Rasulullah, seraya) berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku letakkan (kedua benang tersebut) di bawah bantalku,’ maka Rasulullah bersabda: ‘Sungguh bantalmu sangat lebar, bila benang putih (waktu siang) dan benang hitam (waktu malam) berada di bawah bantalmu.’” (HSR. Bukhory dan Muslim)

Sebagai contoh lain yang sering kita dengar dan mungkin kita alami sendiri, yaitu kata titipan/tabungan (Al Wadi’ah) dan hutang (Ad Dain), silahkan anda pergi ke bank-bank yang ada di negeri kita atau di negeri lain, anda pasti akan dapatkan fenomena manipulasi istilah, sehingga hutang dinamakan dengan tabungan/titipan. Oleh karena penamaan ini tidak merubah hakikat, kita dapatkan para ulama’ mengharamkan bunga tabungan (deposito), dan menghukuminya sebagai riba, karena pada hakikatnya, yang dinamakan dengan tabungan (deposito) adalah hutang, bukan tabungan atau titipan atau wadi’ah.

Sebagai contoh lain, kata hukum (Al Hukmu), betapa banyak orang yang membatasi makna kata ini pada peradilan dan undang-undang pemerintah, sehingga berbagai ayat dan hadits serta keterangan ulama’ yang menjelaskan haramnya berhukum dengan selain hukum Allah hanya ditujukan kepada mereka (pemerintah). Adapun berbagai peradilan dan keputusan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau organisasi, tidak pernah dipermasalahkan. Inilah salah satu perbedaan antara metode berfikir orang khowarij dengan metode berpikir ahlis sunnah wal jama’ah.

Wahai saudaraku, marilah kita lihat dan simak kembali dengan seksama ayat-ayat, hadits-hadits, dan keterangan para ulama’ seputar masalah ini, agar kita sampai pada kesimpulan yang benar. Dan sekedar sebagai bahan acuan saja, mari kita bersama-sama simak perdebatan antara orang-orang khowarij dengan anak paman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, Abdullah bin Abbas rodiallahu ‘anhu, beliau berkata kepada mereka:

أخبروني ماذا نقمتم على ابن عم رسول الله صلى الله عليه و سلم وصهره والمهاجرين والأنصار؟ قالوا ثلاثا، قلت: ما هن قالوا: أما إحداهن: فإنه حكم الرجال في أمر الله، وقال الله تعالى: إن الحكم إلا لله . وما للرجال وما للحكم، …. فقلت: أما قولكم: حكم الرجال في أمر الله فأنا أقرأ عليكم ما قد رد حكمه إلى الرجال في ثمن ربع درهم في أرنب ونحوها من الصيد، فقال: يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم -إلى قوله- يحكم به ذوا عدل منكم. فنشدتكم الله أحكم الرجال في أرنب ونحوها من الصيد أفضل أم حكمهم في دمائهم وصلاح ذات بينهم؟ وأن تعلموا أن الله لو شاء لحكم ولم يصير ذلك إلى الرجال. وفي المرأة وزوجها، قال الله عز وجل: إن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها أن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما. فجعل الله حكم الرجال سنة مأمونة. رواه أحمد والطبراني والبيهقي وصححه الحاكم.

“Kabarkan (katakan) kepadaku, apa yang kamu benci (musuhi) dari anak paman Rasulullah (Ali bin Abi Tholib rodiallahu ‘anhu), sekaligus menantunya, dan juga dari kaum Muhajirin dan Anshar?” Mereka berkata: “Tiga perkara,” Aku berkata: “Apakah ketiga perkara itu?” Mereka berkata: “Adapun yang pertama: Sesungguhnya dia telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, apa hubungan manusia dengan hukum (Allah)?! …….” Maka aku berkata: “Adapun anggapan kalian, bahwa dia (Ali) telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, maka akan aku sebutkan untuk kalian beberapa masalah yang keputusannya diserahkan kepada manusia, yaitu dalam masalah yang seharga ¼ dirham, sebagai harga seekor kelinci dan binatang buruan yang serupa dengannya, Allah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. …s/d … menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.’ (QS. Al Maidah: 95), Aku sumpah kalian, apakah hukum (keputusan manusia pada seekor kelinci dan yang serupa, lebih utama, ataukah keputusan mereka pada hal yang berhubungan dengan (pertumpahan) darah dan perdamaian antara mereka? Dan hendaknya kalian juga tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan menurunkan keputusan-Nya, dan tidak menyerahkannya kepada manusia. Dan dalam urusan seorang suami dan istrinya, Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.’ (QS. An Nisa’: 35), Allah (pada ayat ini) menjadikan keputusan manusia sebagai jalan yang harus ditempuh.” (HSR. Ahmad, At Thobrony, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Hakim)

Dalam perdebatan ini kita dapat melihat dengan jelas, bahwa berhukum dengan hukum Allah, bukanlah kewajiban para pemerintah semata, akan tetapi kewajiban setiap orang. Oleh karena itu kita dapatkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita berhukum dengan hukum Allah, datang dengan teks yang bersifat umum.

Fenomena ini mengharuskan kita mendalami dan mengkaji setiap kata dan istilah yang ada dalam syari’at, dan memahaminya sesuai dengan yang dimaksudkan dalam syariat, bukan hanya sekedar mengetahui arti kata tersebut menurut bahasa arab, agar kita dapat sampai kepada sebuah keputusan hukum yang benar dalam masalah tersebut.

Sebagai penerapan lain bagi hal (realita) ini, adalah yang disebutkan dalam sebuah kaidah fiqih: Pertanyaan bagaikan diulang dalam jawaban. (Lihat Al Asybah Wa An Nazhoir 141, Al Mantsur 2/214, Irsyadul Fuhul 1/361).

Maksud kaidah ini: apabila kita bertanya kepada seseorang tentang sesuatu, maka tatkala orang itu menjawab pertanyaan kita, maka kandungan/inti pertanyaan kita terkandung dalam jawabannya, misal: kita bertanya kepada seorang ulama’: “Apa hukumnya orang mabok hingga hilang kesadarannya kemudian menceraikan istrinya?” Maka ulama’ tersebut menjawab: “Istrinya tidak tercerai.” Ulama’ ini seakan-akan menjawab dengan berkata: “Orang mabok hingga kesadarannya hilang tidak tercerai istrinya.”

Dalam kehidupan dakwah salafiyah di negeri kita dan juga di negeri lain, sedang dilanda musibah yang diakibatkan oleh banyak dari kita yang tidak memahami kaidah ini. Sehingga sering terjadi salah pemahaman dan salah penerapan terhadap jawaban ulama’ terhadap sebagian pertanyaan.

Sebagai contoh saja: ada seseorang yang bertanya kepada salah seorang ulama’ tentang seorang da’i di indonesia yang berkata atau bersikap tertentu, maka ulama’ itupun menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Dan akhirnya jawaban beliau ini dijadikan untuk mengkalim bahwa ulama’ itu telah memvonis da’i tersebut, atau telah menghukuminya sebagai mubtadi’ atau fasik atau lainnya. Padahal ulama’ tersebut hanya menghukumi sebatas pertanyaan yang beliau dengar, terlepas dari fakta dan realita yang sebenarnya terjadi pada da’i tersebut.

Hal ini bukanlah kesalahan bagi ulama’ tersebut, karena beliau telah menjalankan tugas dengan benar, yaitu menjawab sesuai pertanyaan. Akan tetapi yang tercela adalah sang penanya yang bertanya tidak sesuai dengan realita.

عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: إنما أنا بشر وإنكم تختصمون إلي ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي على نحو ما أسمع، فمن قضيت له بحق أخيه شيئا فلا يأخذه فإنما أقطع له قطعة من النار. رواه البخاري.

Artinya:

“Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku adalah manusia, dan sesungguhnya kalian berhakim kepadaku, dan mungkin saja sebagian kalian lebih pandai dalam menyampaikan alasannya dibanding yang lain (lawannya), kemudian aku memutuskan sesuai dengan apa (alasan) yang aku dengar, maka barang siapa yang untuknya aku putuskan dengan sebagian hak saudaranya (orang lain), hendaknya jangan ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan baginya sebongkah api neraka.’” (HSR. Bukhori)

Hadits ini merupakan kaidah dan pelita bagi kita semua dalam menghadapi berbagai kasus pertanyaan dan fatwa yang ada di medan dakwah di negeri kita Indonesia.

Banyak Hukum Dalam Syari’at Yang Didasari Oleh Adat Istiadat

Saya rasa hal ini bukanlah hal yang aneh lagi bagi seorang tholibul ilmi, bahkan hal ini adalah satu dari kelima kaidah besar dalam ilmu fiqih, yang disepakati oleh para ulama’, hanya saja mungkin dalam praktek dan penerapannya yang terjadi perbedaan. (Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 3/77-78).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang mufti, untuk berfatwa dalam masalah seputar iqrar (pengakuan), aiman (sumpah), wasiyat, dan lainnya, yang ada hubungannya dengan (penafsiran) lafdl (kata-kata), berdasarkan kebiasaanya sendiri dalam memahami kata-kata itu, tanpa mengetahui terlebih dahulu adat dan tradisi orang yang mengucapkan kata tersebut, sehingga ia dapat menafsirinya sesuai dengan adat dan tradisi mereka. Walaupun adat dan tradisi mereka itu bertentangan dengan hakikat dasar (makna asli) kata-kata tersebut. Tatkala ia (seorang mufti) tidak melakukan hal ini, niscaya ia akan sesat dan menyesatkan.” (I’ilamul Muwaqi’in 4/228).

Dan dalam kesempatan lain, setelah ia menjelaskan kewajiban mufti agar ketika berfatwa senantiasa memperhatikan perubahan adat istiadat pada setiap masyarakat, ia berkata: “Barang siapa yang berfatwa kepada orang lain, hanya berpedoman dengan yang disebutkan dalam kitab-kitab, tanpa memperdulikan perbedaan adat dan tradisi masyarakat, masa, situasi, kondisi, dan berbagai faktor yang ada pada mereka, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Dan kejahatan yang ia lakukan terhadap agama, lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter gadungan, yang mengobati badan orang lain, dengan berbagai perbedaan negeri, tradisi, masa dan tabiat mereka, hanya berpedoman dengan sebuah buku kedokteran saja.” (Idem 3/78).

Sebagai salah satu contoh penerapan kaidah ini, bila kita membaca kitab-kitab para ulama’ yang membahas tentang dlihar, niscaya kita akan dapatkan bahwa: barang siapa yang mengatakan kepada istrinya: ibu (mama, ummy), atau saudaraku perempuan (mbak/adik dll.) atau sebutan yang semakna, maka dihukumi dlihar, sehingga ia tidak boleh berhubungan dengan istrinya, hingga membayar kafarah, yaitu memerdekakan budak, kalau tidak dapat, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan kalau tidak dapat, bersedekah memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Nah, kalau kita terapkan begitu saja fatwa ini pada masyarakat indonesia, niscaya sangat banyak dari para suami harus membayar kafarah ini.

Sebagai contoh lain, kata nafkah, kalo kita lihat masyarakat di negeri arab, setiap istri jatah makannya (kebiasaannya) sekali makan dengan lauk ½ ekor ayam, minum susu, sarapan roti dan keju, dll. Nah, kalo hal (adat) ini kita jadikan ukuran dalam berfatwa seputar kadar nafkah di masyarakat indonesia, tentu tidak sesuai.

Dan masih banyak hal lagi yang semakna dengan dua contoh ini, bagi yang ingin memperdalam dan mengkaji lebih luas masalah ini, hendaknya merujuk kitab-kitab qowaid fiqhiyyah, misal: Al Asybah wan Nazhoir oleh As Suyuthy, Al Asybah wan Nazhoir oleh Ibnu Nujaim dll.

Metode yang efektif untuk mensikapi berbagai masalah seperti ini, hendaknya sebelum menjawab pertanyaan, kita bertanya daerah asal penanya? apakah adat dan tradisi daerahnya berbeda dengan adat dan tradisi kita? (Lihat Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 4/228).

Ada satu hal yang tidak kalah pentingnya dengan hal ini (memperhatikan perbedaan adat dan tradisi dalam berfatwa) adalah memperhatikan perbedaan mazhab yang berlaku di setiap masyarakat. Sebagai contoh, di negeri Saudi Arabia, mazhab yang diterapkan oleh pemerintahnya adalah mazhab Hambali, dan mazhab ini pula yang diterapkan di pengadilan serta oleh para mufti negeri ini, sedangkan mazhab yang dianut di negeri kita adalah mazhab syafi’i, oleh karena itu dalam masalah-masalah yang tergolong dalam masalah ijtihadiyyah (masalah yang tidak ada dali shohih lagi shorih/nyata) hendaknya kita memperhatikan fenomena ini, agar tidak menimbulkan fitnah.

Sebagai contoh nyata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar rodiallahu ‘anhuma tatkala berhaji dan berada di Mina, mereka mengqoshor sholat ruba’iyah (Zhuhur, Ashar, dan Isya’) menjadi dua rakaat-dua rakaat, akan tetapi pada zaman khilafah Utsman bin Affan rodiallahu ‘anhu beliau sholat empat-empat, maka perbuatan beliau ini pun diingkari oleh para sahabat yang ada kala itu. Diantara sahabat yang mengingkari adalah Abdullah bin Mas’ud rodiallahu ‘anhu, ketika hal ini sampai kepada beliau, beliau mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), akan tetapi tatkala datang waktu sholat, beliau sholat berjamaah bersama sahabat Utsman bin Affan, dan mengikutinya sholat empat-empat.

Tatkala beliau ditanya tentang sikap beliau yang mengikuti ijtihad kholifah Utsman ini, beliau berkata: (الخلاف شر) “Perbedaan itu buruk.” (Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Thobrony, Al Baihaqy dll).

Contoh lain: Dalam mazhab hambali (Lihat Al Mughny 149, Al Inshof 2/48), dan yang diterapkan di negeri ini (Arab Saudi), ketika sholat jahriyyah, tidak disunnahkan untuk membaca basmalah dengan suara keras, akan tetapi dibaca dengan pelan-pelan, baik ia seorang imam atau bukan. Akan tetapi dalam mazhab Syafi’i (Lihat Al Majmu’ 3/289, Mughni Muhtaj 1/157), dan yang diterapkan di negeri kita Indonesia, mengeraskan suara dengan bacaan basmalah adalah sunnah. Betapa banyak masalah yang timbul karena sikap sebagian kita yang kurang memperhatikan fenomena ini, sehingga ketika ia ditunjuk menjadi imam di kampungnya, ia tidak mengeraskan bacaan basmalah.

Sebagai contoh lain: Dalam Mazhab Syafi’i, seorang khotib jum’ah diwajibkan membaca ayat, hamdalah, sholawat kepada Nabi, dan berwasiat dengan ketaqwaan. Keempat hal ini termasuk rukun-rukun khutbah, tidak sah khutbah seseorang kalau tidak melakukan hal-hal itu (Lihat Al Um 1/230, Al Aziz 2/283, Al Majmu’ 4/388). Dan karena sebagian tholibul ilmi mengikuti pendapat sebagian ulama’, ketika ia ditunjuk menjadi khotib, ia tidak membaca sholawat kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Akibatnya sebagian jama’ah, selepas sholat, ia mengulang sholat dhuhur, karena ia menganggap bahwa khutbah sang imam tidak sah, sehingga sholat jum’atnya juga tidak sah. Kejadian ini sempat diangkat dalam sebuah majalah yang terbit di salah satu kota di Indonesia. Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa.

Fenomena ini, mengharuskan kita untuk sedikit membuka mata, dan telinga kita, guna melihat dan mendengar kenyataan, dan kemudian mengkaji setiap masalah yang terjadi perbedaan mazhab (terutama antara yang dijalankan di negeri kita dengan yang kita anggap rojih, sehingga kita amalkan). Dengan demikian kita akan dapat bersikap bijak lagi arif dalam menghadapi perbedaan itu, karena para ulama’ telah menggariskan sebuah kaidah penting lagi berguna dalam situasi seperti ini, yaitu:

يستحب الخروج من الخلاف بفعل ما اختلف في وجوبه وترك ما اختلف في تحريمه

“Disunnahkan menghindari khilaf (perbedaan pendapat), yaitu dengan cara melakukan hal yang dikhilafkan akan kewajibannya, dan meninggalkan hal yang dikhilafkankan akan keharamannya.” (Lihat Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam 1/215-216, Al Asybah wa An Nazloir 136-137).

Mungkin ada yang berkata, apakah semua khilaf harus diperhatikan, dan dihindari? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka hendaknya diketahui bahwa kaidah ini, memiliki tiga syarat dalam penerapannya:

  1. Hendaknya sikap menghindari khilaf tidak menyebabkan kita bertentangan dengan satu hal yang disunnahkan dengan dalil yang nyata (shohih lagi shorih), sebagai misal: Kita tetap mengangkat tangan ketika sholat, walaupun menurut mazhab Hanafy, hal ini membatalkan sholat. Dalam jual beli, kita memiliki khiyar majlis, walaupun Imam Malik tidak membenarkan adanya khiyar majlis, karena dalil adanya khiyar majlis jelas-jelas shohih lagi shorih, bahkan diriwayatkan oleh Imam Malik sendiri, dalam kitabnya “Al Muwatha’”.
  2. Hendaknya sikap ini tidak menjatuhkan kita pada khilaf lain. Sebagai misal: Bila kita hendak sholat witir tiga rakaat, maka yang afdlol adalah dengan cara sholat dua rakaat, kemudian salam, lalu nambah satu rakaat, walaupun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa sholat witir tiga rakaat harus disambung tidak boleh dipisah (dengan dua salam). Hal ini karena sebagian ulama’ mengatakan bahwa menyambung witir (3 rakaat langsung dengan satu salam) tidak sah.
  3. Dalil atau alasan pendapat yang hendak kita hindari khilaf-nya kuat juga. Akan tetapi kalau dalilnya lemah sekali atau bahkan dianggap sebagai kelalaian, maka tidak dianjurkan untuk dihindari khilaf-nya. Sebagai misal: Mengucapkan niyat ketika hendak wudlu, atau sholat, tidak disunnahkan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dalam mazhab Syafi’i, mengucapkan niyat sunnah, hal ini dikarenakan dalil atau alasan mereka sangat lemah. (Idem).

Masalah-Masalah Kontemporer

Tidak kita pungkiri, bahwa metode kehidupan yang ada pada zaman sekarang telah banyak berubah dengan metode kehidupan yang ada pada satu abad silam, apalagi dengan yang ada pada zaman Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. kenyataan ini dapat kita lihat dan buktikan melalui study banding antara berbagai metode transaksi dan interaksi yang disebutkan dalam berbagai hadits dengan yang ada pada zaman sekarang.

Sebagai contoh: Sering kita membaca hadits yang mengharamkan jual beli dengan cara mulamasah (Yaitu menjual barang pada tempat yang gelap gulita, sehingga tidak mungkin bagi penjual atau pembeli untuk menyaksikan barang yang hendak dibeli dengan baik). Nah, kalo kita renungkan dan kita bandingkan dengan kenyataan yang ada pada zaman kita sekarang, mungkin kita akan berkata, mustahil pada zaman sekarang ada seorang pedagang yang menjual barangnya di tempat gelap, karena lampu listrik telah dinikmati oleh kebanyakan manusia, walupun yang tingggal di lereng-lereng gunung. Akan tetapi, kalo kita sedikit memikirkan alasan diharamkannya mulamasah, kita akan berkata sebaliknya. Karena alasan haramnya mulamasah, adalah terjadinya jahalah (ketidak jelasan) pada barang yang dijual. Dan hal ini justru dapat terjadi pada toko-toko yang memiliki lampu penerangan yang berwarna-warni, sehingga barang yang berwarna coklat tua, terlihat berwarna coklat muda, dan yang berwarna krem, terlihat putih, baju kusut lagi kasar, terlihat halus mengkilat, dsb.

Contoh lain: Bila kita tidak memiliki uang, dan memiliki barang berharga, kendaraan, rumah atau tanah, dan sering kali kesusahan untuk mendapatkan pinjaman, sehingga tidak jarang kita menempuh jalan lain, yaitu dengan mendatangi kantor-kantor pegadaian, guna menggadaikan aset kita tersebut, tindakan kita ini diistilahkan Ar Rahnu (penggadaian). Mungkin sering sekilas kita akan berkata, bukankah kita dibolehkan menggadaikan barang? Akan tetapi bila kita melihat fakta dan praktek-praktek pegadaian yang ada di negeri kita, niscaya kita akan berkata lain, karena yang terjadi, pegadaian mengambil keuntungan (bunga) dari kita, dengan berbagai alasan dan cara. Dan kalau sudah jatuh tempo, dan kita tidak dapat melunasi hutang kita, maka aset kita itu, mereka jual dengan harga yang telah mereka tentukan, bukan dengan harga yang semestinya di pasaran. Hal ini menjadikan kita berkesimpulan lain tentang sistem pegadaian tersebut, kesimpulan yang didasari oleh sebuah kaidah:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.”

Dan banyak lagi masalah-masalah yang serupa dengan yang disebut di atas, misalnya: hukum jual beli surat berharga, saham, perbankan, berbagai transaksi model baru, semacam MLM (multi level marketing), transaksi jual beli menggunakan berbagai alat komunikasi masa kini, mencangkok organ manusia, berbagai masalah dalam dunia kedokteran, dll. Fenomena ini mengharuskan kita memahami dan mengetahui bagaimana metode menghubungkan masalah-masalah baru (kontemporer) dengan masalah-masalah yang disebutkan dalam dalil-dalil dan kitab-kitab ulama’, pekerjaan ini diistilahkan dengan At Tashwirul Fiqhy & At Tanzilul Fiqhy.

Realita ini, tidak berarti seseorang tidaklah dikatakan sebagai ulama’, kecuali bila telah menguasai berbagai permasalahan kontemporer ini, karena kekurangan dalam hal ini dapat dipenuhi dengan mendatangkan para pakar dan ahli dalam setiap permasalahan, sebagaimana yang diterapkan oleh Badan Riset dan Fatwa di Kerajaan Arab Saudi dan juga oleh berbagai badan perkumpulan ulama-ulama’ fiqih di berbagai negeri islam.

Ibnul Qayyim berkata: “Seorang mufti dan seorang hakim tidak mungkin dapat berfatwa atau memutuskan dengan benar, kecuali bila ia menguasai dua macam pemahaman: pertama: memahami dan mengetahui realita kejadian, dan menarik kesimpulan dari hakikat kejadian yang terjadi dengan menggunakan berbagai tanda dan indikasi yang ada padanya, hingga ia benar-benar menguasai ilmu tentangnya. Pemahaman kedua: memahami kewajiban (yang harus diterapkan) pada kejadian itu, yaitu dengan memahami hukum Allah yang Ia putuskan dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasul-Nya tentang kejadian ini. Dan kemudian ia mencocokkan antara kedua pemahaman ini. Barang siapa telah mengerahkan seluruh daya dan upayanya guna menguasai kedua pemahaman ini, niscaya ia meraih dua atau satu pahala.” (I’ilamul Muwaqi’in 1/87-88).

Kesempurnaan Sulit Dicapai

Sebagaimana yang kita dapatkan dan rasakan, betapa banyak kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita sendiri, hal serupa juga dialami oleh orang lain. Fenomena ini menuntut kita untuk mengakui kekurangan dan siap menerima kekurangan dari orang lain. Tidak mungkin kita mendapatkan orang yang sempurna, dan tidak mungkin kita menemukan kawan yang tidak memiliki kekurangan. Oleh karena itu nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون. رواه أحمد والترمذي وابن ماجة وصححه الحاكم

“Setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada kebenaran).” (HR. Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim)

Akan tetapi, kadang kala kita terjerumus kepada satu sikap yang mengherankan, yaitu: menuntut orang lain untuk memaklumi kekurangan dan kekeliruan kita, akan tetapi kita sendiri tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa kawan kita memiliki kekurangan.

Sebagai salah satu sikap yang -menurut hemat saya- tidak obyektif, bila salah seorang dari kita hendak mencari pasangan hidup, kita membuat berbagai persyaratan kriteria yang, mungkin hanya ada pada bidadari, cantik, pandai, sholehah, trampil, kaya raya, putih, muda belia, berdarahkan biru, menyandang gelar pendidikan tinggi dsb. Akan tetapi, di sisi lain, kita enggan untuk menoleh dan meraba tengkuk sendiri, sambil bertanya: Siapakah aku?! Kita hanya bisa membayangkan dan mengkhayal, kapankah aku dapat meminang seorang bidadari?, tanpa bertanya: apakah mahar seorang bidadari? Mungkin ini yang menjadikan kita kebingungan, bagaimana dan dengan siapa saya harus menikah, bidadari dari langit mana yang harus saya nikahi?

Akan tetapi, mari kita lihat dan simak bersama realita yang Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam gambarkan, dan hendaknya menjadi pedoman bagi setiap kita dalam mencari pasangan hidup dan memperlakukannya:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لا يَفْرَكْ مؤمن مؤمنةً إن كره منها خلقا رضى منها آخر) رواه مسلم

“Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, (karena) bila ia tidak menyukai satu perangai padanya, pasti ia menyukai perangainya yang lain’.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, kita (kaum laki-laki) mendapatkan sebuah pelajaran penting tentang realita kaum muslimah, yaitu: setiap muslimah pasti ada padanya beberapa perangai yang membuat suaminya suka, walaupun di sisi lain ia memiliki perangai yang kurang disenangi. Fenomena ini dijadikan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai pedoman bagi kaum muslimin dalam mensikapi kaum muslimat, terutama istri-istri mereka. Hal ini juga membuktikan kepada kita (kaum laki-laki) bahwa, khayalan dan impian sebagian orang, ingin mendapatkankan seorang istri yang sempurna, bak bidadari yang turun dari surga, tidak akan pernah terwujud di dunia fana ini.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, apabila kita mencari pasangan hidup, hendaknya kita mempersiapkan mental dan i’tikad kita, guna menghadapi kekurangan dan beberapa perangai calon istri kita yang kurang disukai.

Contoh lain: Kita sering mengucapkan kritikan kepada orang lain, dengan berkata: seharusnya ia berbuat demikian, demikian, akan tetapi kita jarang atau bahkan enggan untuk mengatakan kepada diri sendiri: Dapatkan saya melakukan seperti yang ia lakukan? apalagi mendengarkan kritikan orang lain. Di negeri kita ada sebuah pepatah: Penonton lebih pandai daripada pemain.

Fenomena ini hendaknya senantiasa kita ingat, agar kita tidak gampang kecewa dan dapat berhubungan dengan orang lain dengan baik. Walaupun hal ini tidak menutup pintu kritik membangun, dan nasehat menasehati dengan cara yang baik lagi sopan. Semboyan kita adalah:

سددوا وقاربوا وأبشروا. رواه البخاري ومسلم

“Tempuhlah jalan yang benar, berusahalah sekuat tenaga, dan berikanlah kabar gembira (kepada yang beramal, bahwa ia akan mendapatkan pahala).” (HSR. Bukhori dan Muslim)

والله أعلم بالصواب

Semoga tulisan ini menjadi pilar bagi kita dalam menuntut ilmu, dan menempuh perjalanan dakwah kita. Dan saya mengharapkan dan sangat berterima kasih, bila ada dari saudaraku yang mendapatkan kesalahan atau kritikan pada tulisan ini, hendaknya ia menyampaikannya, tentunya dengan metode dan etika yang ilmiyah. Semoga sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabat.

Madinah, 22 Ramadhan 1425 H

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id