Selasa, 10 Februari 2009

Ringan di Lisan Berat di Timbangan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)

Subhanallahi Wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah; anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)

Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885)

Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)

Subhanallahil ‘Azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446).

Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).

dikutip dari: http://muslim.or.id/doa-dan-wirid/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html

Jumat, 06 Februari 2009

Hukum Menjual Barang di Katalog

Assalamualaikum ustadz

Ustadz yang dirahmati ALLAH, ana mau tanya, misalkan kita mempunyai toko elektronik, kemudian kita mempunyai katalog dari salah satu produk elektronik. Apakah boleh kita menjual barang yang ada di katalog itu meskipun pada saat itu kita tidak mempunyai barang tersebut?

Ibnu Ahmad
Email: binkuddxxx@gmail.com

Jawab:
Wa’alaikumus Salam
Melihat permasalahan yang saudara sampaikan diatas maka perlu kami jelaskan terlebih dahulu permasalahan ini. Menjual barang bila melihat kepada keberadaan barang dan sifatnya terbagi menjadi dua:

1. Menjual barang yang ada ditempat, maka ini jelas boleh dan kebanyakan jual beli seperti ini. Seperti jual beli barang di supermarket atau mall. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan membayar nilai harganya ke kasir sesuai dengan harga yang sudah ada.


2. Menjual barang yang belum ada ditempat, hal ini bisa terjadi dalam beberapa bentuk.


a. Barangnya tidak dapat dijelaskan sifat-sifatnya yang dikenal dengan istilah dimasyarakat kita dengan menjual kucing dalam karung. Ini jelas haram karena adanya gharar dan ketidak jelasan sifat barang.


b. Barangnya dapat disifatkan dan dijelaskan bentuk dan keadaannya. Jenis ini bisa dijabarkan dalam dua bentuk:
1. Disampaikan secara rinci dan sifat-sifat yang dijelaskan bisa mewakili barangnya, maka ini diperbolehkan dan sah jual belinya dengan ketentuan barangnya nanti bisa pas sesuai penjelasan tersebut. Apabila tidak sama dan pas dengan keterangan tersebut, misalnya warnanya merah tapi yang dikirimkan warnanya hitam, maka hal ini pun memiliki dua kemungkinan:
Bisa jadi lebih baik atau lebih rendah (jelek) dari yang dijelaskan ketika akad transaksi. Maka dalam kedua keadaan ini pembeli memiliki hak untuk menyempurnakan transaksi dengan membelinya atau menggagalkan transaksi dan mengembalikan barang tersebut dan mengambil uang yang telah dibayarkannya. Inilah yang dikenal dalam fikih jual beli dengan istilah Khiyaar al-Khalaf Fi ash-Shifat.


2. Menjual barang dengan menampakkan contohnya. jual beli ini dikenal dalam istilah para ulama syari’at dengan Bai’ an-namudzaj . contoh yang nyata dimasyarakat kita adalah membeli motor di dealer dengan melihat salah satu contoh motor yang dipajang, kemudian setelah pembayaran selesai maka Dealer mengirimkan motor yang sejenis dengannya kepada pembeli. Ini hukumnya sama dengan diatas.


Permasalahan anda diatas nampaknya masuk dalam kategori kedua ini dan ia termasuk jenis bai’ salam dimana pembeli membayar barang yang ada dalam catalog dan penjual mengirim barangnya setelah itu dengan pengetahuan dari pembeli barangnya tidak ada dihadapan keduanya. Insya Allah apa yang saudara tanyakan adalah boleh dan sah jual belinya.
Wallahu A’lam.

dikutip dari: http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/hukum-menjual-barang-di-katalog/