Kamis, 16 April 2009

Memahami Kaidah Bid'ah

Dakwah di internet bid’ah?

Pertanyaan :

Apakah berdakwah dengan Internet Bid’ah?? Bukankah Rasulullah tidak pernah berdakwah melalui internet? [haroki|Jakarta|Pria|Mahasiswa]

Jawaban :

Sebelum menjawab, ada baiknya difahami dulu definisi dan kaidah suatu amalan dikatakan sebagai bid’ah. Dengan memahami hal ini maka tidak akan rancu pemahaman kita, sehingga tidak akan muncul anggapan yang salah kaprah tentang suatu amalan, sehingga menyatakan ini bid’ah dan ini sunnah tanpa didasari oleh landasan ilmu.

Bid’ah menurut bahasa adalah mengada-adakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, seperti firman Allah kepada Nabi yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Katakan (wahai Muhammad), Ma kuntu bid’an minar rusul /aku bukanlah rasul pertama diantara para Rasul.” (al-Ahqaaf : 9) Sebagaimana pula maksud perkataan Umar yang mengatakan Ni’matul Bid’ah hadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah hal ini).

Imam Syathibi mendefinisikan bid’ah menurut istilah sebagai “suatu cara di dalam agama yang sengaja diada-adakan seolah-olah mirip dengan jalan syariat, yang mana pelakunya memaksudkannya untuk berlebih-lebihan di dalam beribadah kepada Allah.” (al-I’tisham I/53)

Definisi bid’ah menurut syariat ini berpijak pada hadits nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam :

Pertama, Hadits Irbadh bin Sariyah, Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda yang artinya : “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang muhdats (baru), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya di neraka.”

Kedua, Hadits Jabir bin Abdullah yang lebih dikenal dengan hadits Khuthbatul Haajah, dimana nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda : “Seburuk-buruk suatu urusan adalah perkara yang diada-adakan (muhdats), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya di neraka.”

Ketiga, Hadits ‘Aisyah yang berbunyi : “Barangsiapa mengada-adakan suatu dalam urusan (agama) kami yang bukan termasuk bagian di dalamnya, maka tertolak.”

Keempat, Hadits Aisyah dalam riwayat lain yang berbunyi : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Hadits di atas jika diteliti secara seksama, maka akan menunjukkan batasan dan hakikat bid’ah menurut syari’at. Oleh karena itu bid’ah dalam syariat memilki 3 batasan khusus, dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid’ah jika tidak memenuhi 3 batasan tersebut, yaitu :

  1. al-Ihdaats (mengada-adakan) sesuatu
  2. Disandarkan pada agama
  3. Tidak berpijak pada dasar syariat baik secara khusus maupun umum.

Selain itu ada 3 dasar pokok yang mencakup semua macam bid’ah, yaitu :

  1. Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan
  2. Keluar menentang aturan agama
  3. Peluang (dzara’i) yang menggiring ke arah bid’ah.

Oleh karena itu, segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah tidaklah otomatis dikatakan bid’ah, karena bid’ah itu apabila berhubungan dengan hal-ha di atas. Islam tidaklah menghalangi inovasi teknologi dan pengetahuan, oleh karena itu tidak bisa kita katakan bahwa pesawat terbang, mobil, sepeda motor, telepon, dan lain sebagainya sebagai bid’ah dari sisi syariat. Di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan, “hukum asal segala sesuatu adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkannya”.

Adapun dakwah memang merupakan bagian dari ibadah, sedangkan ibadah bersifat taufiqiyah yang tidak boleh diamalkan jika tidak ada dalilnya. Lantas apakah berdakwah melalui internet adalah bid’ah karena Rasulullah tidak pernah melakukannya?? Demikian pula apakah dakwah melalui kaset rekaman, majalah, buletin, radio dan selainnya termasuk bid’ah??

Jawabnya adalah tidak, karena kesemua sarana di atas termasuk bentuk mashlahah mursalah. Berikut ini kami jelaskan perbedaan antara bid’ah dengan mashlahat mursalah agar tidak salah faham dan salah persepsi :

  • Bid’ah memiliki ciri khusus yaitu merupakan sesuatu yang dimaksud sejak awal oleh pelakunya. Mereka bertaqarub kepada Allah dengan amalan bid’ah tersebut dan tidak mau berpaling darinya. Adapun mashlahat mursalah merupakan maksud/tujuan yang kedua bukan yang pertama (inti) dan masuk dalam cakupan sarana pendukung (wasilah) untuk merealisasikan tujuan syariat. Mashlahat mursalah bisa gugur jika berhadapan dengan mafsadat yang lebih besar. Sebagai contoh adalah ceramah dengan bantuan speaker atau sound system, speaker yang digunakan adalah wasilah untuk menyampaikan dakwah agar manusia dapat mendengar dakwah lebih jelas dan lebih meluas. Demikian pula internet, merupakan wasilah yang dapat meluaskan dakwah islamiyah yang tidak menyelisihi tujuan syariat dan tidak pula ada satu segi dalil yang melarangnya. Adapun maulid nabi misanya, maka pelakuknya melakukan perayaan ini sebagai maksud dari semenjak awalnya dan tidak mau berpaling atau meninggalkannya walaupun dikatakan atas nama cinta terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
  • Bid’ah membawa kepada takalluf (membebani diri dengan sesuatu yang tidak diperintahkan) sedangkan mashlahat mursalah mendatangkan kemudahan dan menghilangkan takalluf. Misalnya, sound sistem untuk ceramah, alat ini memberikan kemudahan sehingga orang yang berceramah tidak perlu mengangkat suaranya tinggi-tinggi dan para pendengar dapat mendengarkan ceramahnya dengan baik.
  • Bid’ah keberadaannya bertentangan dengan maqoshidus syarii’at (tujuan syariat) sedangkan mashlahat mursalah merealisasikan maqooshidus syarii’at.
  • Mashlahat mursalah memiliki ciri khusus, yaitu tidak pernah ada di zaman nabi dikarenakan tidak ada faktor pendorongnya, ataupun jika ada faktor pendorongnya namun ada hal yang menghalanginya. Sedangkan bid’ah kebalikannya, memiliki faktor pendorong dan tuntutan yang banyak dan tak ada faktor penghalangnya. Sebagai contoh adalah dakwah dengan internet, di zaman nabi tidak ada karena belum ditemukan internet, sekiranya ada internet maka niscaya nabi pasti akan menggunakannya untuk menyebarkan dakwah. Adapun berdakwah melalui parlemen adalah bid’ah, karena nabi sendiri pernah ditawari kekuasaan, harta dan lain sebagainya, namun beliau menolaknya. Hal ini menunjukkan pendorong ada dan tidak ada penghalang bagi nabi untuk menerimanya, tapi kenyataannya nabi tidak mau menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa perkara tersebut menyelisihi sunnah beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam.

Kami teringat sebuah kisah tentang Syaikh al-Mufassir ‘Abdurrahman as-Sa’di, tatkala beliau memberikan ceramah di hadapan kaum muslimin, tiba-tiba ada seorang pria tua berkacamata memprotes beliau, dia menanyakan apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberikan ceramah dengan sound system sebagaimana Syaikh as-Sa’di pada hari itu berceramah. Lantas Syaikh pun tersenyum dan berkata kepadanya, “coba lepas kacamata anda, dapatkah anda melihat dengan jelas?” Orang itu menjawab, “tidak”. “Jika saya berbicara tidak dengan microphone ini, dapatkah anda mendengarkannya dengan jelas?”. Orang itupun akhirnya faham akan kekeliruannya. Semoga bermanfaat.

sumber: http://konsultasi.stai-ali.ac.id/?p=121

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda